Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Merestrukturisasi Kultur dan Watak Korps Adhyaksa
Oleh : Redaksi/Opini
Kamis | 26-07-2012 | 11:01 WIB

OLeh : Ivan Irifandi


Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 merupakan dasar konstitusi berdirinya lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam menjalankan perannya tak bisa dipungkiri kejaksaan juga memiliki keterikatan yang tinggi dengan lembaga-lembaga hukum yang lainnya.


Sinergisitas inilah yang diharapkan mampu menciptakan ruang keadilan bagi seluruh elemen masyarakat dalam kedudukannya dimata hukum. Namun, dalam perjalanannya tidaklah seperti apa yang diharapkan publik. Malah yang sering terlihat kerap kali terjadi konflik antar lembaga.

Tergerusnya simpati dan kepercayaan publik terhadap Korps Adhyaksa. System penanganan perkara yang selama ini masih menonjolkan semangat korps yang berlebihan, telah berhasil menggiring wajah hukum negri ini menjadi amburadul dan karut marut. Sebagai dampak turunannya bermuncullah berbagai persoalan hukum yang tidak jarang mengiris nurani publik. Oleh Karena itu, system penanganan perkara di kejaksaan yang selalu melukai rasa keadilan publik harus segera diakhiri.

Sulit untuk dibantah, proses hukum yang sering tidak independen, tebang pilih serta selalu mengabaikan rambu-rambu kepatutan tidak dapat dilepaskan dari wajah korps berbaju coklat ini. Tradisi ini akhirnya mengakar serta membudaya kendati publik terus menyoroti dan melontarkan berbagai kritikan tajam. karena karakter yang sudah mendarah daging, kepekaan terhadap tuntutan public menjadi sirna (Tempo.co)

Harapan Masyarakat

Ilustrasi konflik yang berkepanjangan menjadikan lembaga penegak hukum mendapat penilaian negatif di mata masyarakat awam. Hal ini tentunya sangat merugikan karena penilaian masyarakat awam adalah pada tataran objektifitas, sehingga terkadang cenderung tidak komprehensif dalam menilai. Hal itu harus sama-sama kita maklumi.

Kalaulah lembaga hukum di Indonesia merupakan ujung tobak dalam penegakan hukum, maka sangat naïf jika di dalam lembaga hukum tersebut masih terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum oleh oknum-oknum tertentu (personel), seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang dan kriminalitas.

Ahad, 8 Januari 2012 lalu, LSI merilis hasil survei terbarunya tentang penegakan dan pemberantasan korupsi di masa pemerintahan Presiden SBY. Hasilnya, Kejaksaan Agung dinilai 33,2 persen bersih dari korupsi, sedangkan Polri 39,3 persen. Sementara KPK memperoleh 38,5 persen, TNI 57,2 persen, Presiden 51 persen, Bank Indonesia 38,2 persen, Mahkamah Konstitusi 37,7 persen, Mahkamah Agung 34,9 persen, BPK 33,8 persen, DPR 31,1 persen, dan partai politik 30,2 persen. Hasil survei ini menunjukkan adanya penurunan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Tantangan ke Depan

Semakin hari, kasus hukum semakin banyak. Untuk itu kejaksaan dituntut profesional dalam menjalankan tugasnya. Hal pertama yang harus dibenahi adalah masalah internal. Kejaksaan harus mampu mebersihkan mafia-mafia hukum serta menindak tegas terhadap personel yang melanggar hukum. Selanjutnya yang harus dibangun adalah sinergisitas yang berkelanjutan dengan seluruh institusi penegak hukum yang ada, sehingga tidak terjadi perbedaan tolak ukur dalam memandang sebuah kasus hukum.

Jangan sampai lembaga ini diboncengi oleh kepentingan politik tertetentu. Karena lembaga ini harus independen terlepas dari intervensi pihak manapun termasuk penguasa. Namun, yang perlu digarisbawahi, pimpinan kejaksaan harus mampu menerjemahkan makna independensi ke seluruh personil sehingga tidak muncul lagi kesan egoisentris kelembagaan.

Dengan begitu, besar harapan citra kejaksaan semakin membaik dan menimbulkan kepercayaan di tengah masyarakat. Hal ini tentu tidaklah mudah, karena banyak tantangan-tantangan yang siap menghadang. Meminjam logika Robert F. Kennedy, "Kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh".

Ini merupakan hal yang niscaya jika ingin berbenah maka konsekuensinya semakin banyak musuh yang terus menerus menghalanginya. Oleh Karena itu, dibutuhkan kesadaran dan komitmen dari setiap personal penegak hukum tentang ancaman yang dihadapinya sehingga terbentuk soliditas internal.

Mengutip kata-kata Sukarno, "Sudah menjadi hukum besi sejarah, tidak ada bangsa yang bisa maju zonder (tanpa) kerja, zonder keringat”. Maka hal selanjutya yang juga diperhatikan adalah kinerja itu sendiri, sudah sejauh mana kerja-kerja yang dilakukan untuk meperbaiki korps ini? Sudahkah semua steak holder bekerja dengan semangat dan tujuan yang sama?

Dalam sempena Hari Bhakti Adhyaksa yang ke-52 ini, mari sama-sama kita reformasi seluruh kultur dan watak yang tidak sejalan dengan tuntutan reformasi itu sendiri. Publik berharap, di bawah kepemimpinan Basrief Arief mampu membawa Korps Adhyaksa kembali ke fitrahnya sehingga mampu menjawab tantangan ke depan tentunya dalam rangka menegakkan hukum yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat indomesia. Semoga !!!

Penulis adalah Ketua Departemen Kaderisasi & Binsat PD KAMMI Kepulauan Riau dan Anggota Komunitas Gerakan Kepri Gemar Menulis (GKGM)