Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penjara [Bukan] Tempat Anak
Oleh : Tunggul Naibaho
Minggu | 13-02-2011 | 12:05 WIB

Oleh: Muhammad Joni *)

Keadaan buruk dalam pemenjaraan anak bukan saja situasi fisiknya, namun filosofi yang diusung. Anak masih dianggap orang dewasa ukuran mini. Yang membedakannya hanya masa penahanan, dan kenyataannya anak tetap saja melakoni pembinaan dalam LP Anak yang masih bercitarasa penjara biasa.

Mari kita keluar dulu menemui Phil Dickens yang berargumen tentang penghapusan sistem penjara. Dia mengemukakan pendapat kritis ini: "The idea that prisons serve to reform criminals is a nonsense. Dalam  Anarchism: its Philosophy and Ideal, Peter Kropotkin made the argument that the result was in fact the opposite". Dia melanjutkan, "Have not prisons-which kill all will and force of character in man, which enclose within  their walls more vices than are met with on any other spot of the globe-alwaysbeen universities of crime?"[1]

Dickens percaya, penjara mengubah kejahatan adalah bohong, dan dengan mengutip Peter Kropotkin  dengan penjara bahkan hasilnya justru sebaliknya.  Pada artikel itu Dickens memaparkan, "So, a century after Kropotkin wrote ofprisons "which kill all will and force of character in man," we still see anoverwhelming brutalisation of human beings within their walls".

Seabad setelah Kropotkin menulis tentang  penjara "yang membunuh semua kemauan dan menekan karakter diri manusia", kita masih melihat brutalisasi besar umat manusia di dalam dinding-dinding  mereka (penjara).  Dan hasilnya, 61% dari semua tahanan yang dilepaskan pada tahun 2001 mengulangi lagi perbuatan (reconvicted) dalam waktu dua tahun, dan 73% dari pelaku laki-laki muda yang dilepaskan tahun 2001 adalah reconvicted dalam waktu 2 tahun."

Agaknya, potret buruk pemenjaraan anak juga tergambar di Indonesia. Kekerasan tak terelakkan dari anakberkonflik hukum. Di lingkungan kepolisian RI, seakan-akan penyidikan identikdengan kekerasan.
Kunjungan KPAI ke sebuah Lapas Anak misalnya menemukan, dari 32 penghuni Lapas  Anak, 18 orang darimereka mengaku selama penyidikan mengalami penyiksaan.[2]

Patutlah jika  ada pihak yang menggugat keabsahan konstitusional pemenjaraan anak sebagaimana dimohonkan  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke Mahkamah  Konstitusi (MK). Penulis adalah kuasa hukum lembaga Negara itu, yang  didaulat merumuskan argumentasi dan posita serta  petitum ke MK.

Dengan modal  Pasal 28B ayat (2) UUD 1945,  cukup kuat alasan untuk menghapuskan (abolisi) atau mengoreksi pemenjaraan anak yang dalam banyakkasus sudah menjadi ancaman pada fisik, psikis, masa depan dan bahkankelangsungan hidup anak. Tak hanya menghapuskan pemenjaraan anak, tentu hal itu  dimulai dengan  mengubah sistem
peradilannya  yang masih turunan peradilan pidana dewasa yang eksis karena didasarkan  pada UU  Kekuasaan Kehakiman, UU Pengadilan Anak, KUHPdan KUHAP.

Pemerintah agaknya masih konservatif  menanggapi penghapusan pemenjaraan anak. Dalam draf RUU Sistem Peradilan PidanaAnak yang diajukan ke Presiden, yang berkembang justru pandangan moderat yang masih menerapkan pidana penjara bagi anak atau mengakui pemenjara anak dengan menambahkan berbagai perlakuan khusus dengan mengusung
konsep restorative justice.

Pandangan  moderat juga dianut  Komite Hak Anak (Commitee on the Rigths of the Child) yang cuma merekomendasikan anak berkonflik
dengan hukum dipisahkan penahannya dari orang dewasa, penahanan sebagai upaya terakhir (the last resort),dan jangka waktu paling pendek (shortest time period).

Pandangan ini mirip KUHP Nasional Belanda dimana sistem  Code Penal di Nederland sampai tahun 1886 (di Nedtherland Indie sampai tahun 1918), dengan adanya  pembatasan umur memenjarakan anak. Seorang anak belum  berusia 16 tahun yang melakukan delik, tidakdijatuhi pidana akan tetapi  dapatdiperintahkan Hakim perdata
mendapatkan pendidikan paksa (dwang-opvoeding) dari Pemerintah.

Pada tahun 1886, semenjak berlakunya KUHP Nasional Belanda  terjadi perubahan dalam pembatasan usia tanggungjawab  pidana. Apabila  anak yang belum  berusia 10 tahun melakukan  tindak pidana, maka dia tidak dijatuhi pidanaakan tetapi mendapat pendidikan paksa  dari pemerintah.

Jika seorang anak yang usianya antara 10 tahun dan 16 tahun melakukan suatu tindak pidana dan sudah berakal (oordeldes onderscheid), anak harus dipidana dengan pengurangan 1/3nya. Tetapi jika belum berakal anak itu tidak dipidana, akan tetapi
harus diperintahkan  oleh Hakim untuk dididik paksa oleh  pemerintah sampai anak itu berumur 18 tahun. Seorang anak yang berusia 16 tahun atau lebih jika melakukan suatu tindak pidana, harus dipidana.

Dengan karakternya yang masih belia atau tengah menjalani evolusi kapasitas (evolving capacities), tidak sepatutnya anak dijatuhi pidana sebagai bentuk penderitaan atas ulah perbuatannnya. Sesuai doktrin filsafat determinisme dalam hukum pidana mengajarkan bahwa perilaku manusia, baik perorangan ataupun kelompok  ditentukan faktor fisik,geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan.      

Janganlah menghukum anak atas apa yang tidak tanggungjawab utuh si anak. Kejahatanbukan kelakuan otentik si anak.

Solusinya?  Menjatuhkan Tindakan diluar penjara berjeruji. Selain lebih mendidik anak, Tindakan secara kua-teoritis  setara  dengan Pidana dan merupakan sanksi  mandiri (independent sanction). Bukan sanksi pelengkap (complement sentences) dari sanksi pidana.  

Lagi pula perkembangan pemikiran hukum pidana dewasa ini mengarah pada abolisi  pemidanaan untuk menderitakan pelakunya. Lihat saja bagaimana RUU KUHP dengan sadar memasukkan Tujuan Pemidanaan (Pasal 50) dan  Pedoman Pemidanaan (Pasal 51) yang diarahkan untuk memandu  penegak hukum  memahami falsafah pemidanaan yang tidak bermaksud menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Pemidanaan bukan
nirkemanusiaan.

Pemidanaan bukan balas dendam. Sistem hukuman dalam RUU KUHP mengadopsi hukuman pidana kerja sosial, pidana pengawasan,  denda, yang melengkapi alternatif pidana penjara. Perkembangan pemikiran itu mengarah kepada delegitimasi dan dekonstruksi pidana penjara dalam sistem hukuman.

Masih menurut Phil Dickens[3] "...the prison systemis an element of state structure deemed to be beyond question" Sistem penjara adalah elemen struktur negara yang perlu diragukan. Dickens melanjutkan, "However,the idea of its abolition remains unspeakable, indeed unthinkable".

Gagasan penghapusan penjara tetap tak terkatakan, namun memang tak terbayangkan.

*) Direktur Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum KAHMI, Legal Expertise on Child Rights KPAI

 

[1] Artikel ini  ditulis oleh Phil Dickens,yang bertitel "Argumen untuk penghapusan sistem penjara" dalam http://propertyistheft.wordpress.com/2009/08/31/abolish-the-prison-system/

[2] Hadi Supeno, "DekriminalisasiAnak", Pokok-pokok pikiran, pada Diskusi Publik "Dekriminalisasi  Anak",yang diselenggarakan  oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), padatanggal 31 Juli 2009.

[3]http://propertyistheft.wordpress.com/2009/08/31/abolish-the-prison-system/