Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Memperingati Hari Pers Nasional

Mas Marco Kartodikromo, Bapak Pers yang Dilenyapkan Sejarah
Oleh : S. Widodo, Redaktur Portal Berita Batamtoday dan Bendahara PWI Reformasi Kota Batam
Rabu | 09-02-2011 | 11:34 WIB
mas-marco-kartodikromo&istr.gif Honda-Batam

Dilenyapkan Sejarah - Tokoh pers Indonesia, Mas Marco Kartodikromo bersama dengan istri di pengasingan Boven Digoel, Papua. (Foto: KITLV)

Pada 9 Februari 2011, seluruh insan pers di Indonesia memeringati Hari Pers Nasional. Dalam rangkaian peringatan HPN, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)  biasanya selalu memberikan penghargaan kepada para insan pers yang dianggap telah berjasa dalam pengembangan pers nasional.

Banyak sosok yang dianggap berjasa mendapatkan penghargaan tersebut seperti Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Pandoe Kartawigoena, Adam Malik, Soebagijo I.N, Adinegoro maupun tokoh-tokoh lainnya. Kebanyakan penerima penghargaan merupakan tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak perjuangan pers sejak tahun 1930-an.

Namun banyak sosok yang 'menggauli' pers di awal abad ke 20 justru 'hilang' maupun 'dihilangkan' oleh sejarah dengan alasan ideologi seperti halnya sosok Mas Marco Kartodikromo.

Mendengar nama Mas Marco Kartodikromo, mungkin generasi muda Indonesia di abad millenium ini kurang begitu mengenal. Jangankan generasi muda, mungkin para penggiat pers yang belum lama menggeluti dunia pemberitaan juga tidak banyak mengetahui siapa sesungguhnya sosok yang memiliki nama kombinasi latin dengan Jawa ini.

Mas Marco merupakan tokoh pers Indonesia yang lahir di Cepu, Jawa Tengah pada tahun 1890. Berlatar belakang keluarga dari priyayi rendahan kaum Samin, Marco mengalami sebuah diskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan hanya mengenyam pendidikan 'kelas dua'. Pendidikan yang dikhususkan bagi mereka yang berasal dari kalangan 'kelas dua' alias bukan priyayi tinggi.

Akibat 'kekalahan' kelas sosial, Mas Marco memiliki ketergila-gilaan terhadap budaya asing. Sejarawan Jepang, Takeshi Shiraishi dalam bukunya berjudul Zaman Bergerak menggambarkan sosok Mas Marco memiliki kontradiksi penampilan dengan Soewardi Soerjaningrat maupun Tjokroaminoto dari kalangan priyayi yang menggunakan pakaian tradisional Jawa, sementara dirinya justru malah berpenampilan ala sinyo-sinyo Belanda.

Penindasan penjajah dan 'kekalahan' kelas justru menempanya menjadi radikal. Dirinya merasa jengah dengan kemunduran sosial bangsanya akibat kolonialisme. Dirinya muak dengan banyaknya priyayi yang menjilat kepada pemerintah demi perut berisi.

Mas Marco Menjadi Jurnalis dan Sastrawan

Memasuki awal abad ke 20, tepatnya di tahun 1905, Mas Marco mengawali karirnya sebagai seorang juru tulis rendahan di Dinas Kehutanan Karesidenan Cepu. Merasa kurang berkembang, dirinya memutuskan untuk hijrah ke Semarang dan bekerja di kantor pemerintah. Saat itulah, ia mulai mengenal seorang pegawai Belanda yang akhirnya menjadi guru privatnya berbahasa Belanda.

Pada umur 21 tahun, Mas Marco telah menguasai bahasa Belanda dengan fasih dan memutuskan pindah ke Bandung untuk bergabung dengan surat kabar Medan Prijaji pimpinan Sang Pemula, RM. Tirto Adhi Soerjo. Kepada Tirto, Mas Marco bukan hanya berguru ilmu jurnalistik namun juga belajar mengenal bagaimana mengelola organisasi modern.

Bekerja kepada Tirto, ilmu jurnalis dirinya semakin terasah. Namun seiring dengan dibuangnya Sang Pemula oleh pemerintah Hindia Belanda, Medan Prijaji menjadi bangkrut hingga Mas Marco memutuskan untuk pergi ke Surakarta.

Di kota inilah, Mas Marco melanjutkan cita-cita Sang Pemula dengan mendirikan majalah berbahasa Jawa, Sarotomo dan membentuk Inlandsche Journalisten Bond (IJB) atau organisasi wartawan pribumi yang berdiri pertama kali di Indonesia dengan Doenia Bergerak sebagai medianya pada tahun 1914.

Kalangan pergerakan saat itu menyambut gembira terbitnya Doenia Bergerak maupun Sarotomo yang mengakhiri masa kevakuman media pribumi atas tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bagi kalangan pergerakan, terbitnya media pribumi merupakan bentuk perlawanan seorang Mas Marco terhadap pemerintah.

Setahun kemudian Doenia Bergerak mencapai kegemilangannya. Tulisan dia mengritik pemerintah berakhir di pengadilan dengan jeratan Undang-undang Kolonial terkait menyebarkan tulisan yang mengandung unsur kebencian (Hatzaai Artikelen), sebuah UU yang masih dianut pemerintah Indonesia pascakemerdekaan.

Dalam mengritik pemerintah, Mas Marco menggunakan syair-syair yang 'menohok' hidung pemerintah kolonial. Dirinya menulis beberapa syair seperti Sama Rata Sama Rasa dan Badjak Laoet yang sangat membuat pemerintah kolonial kebakaran jenggot.

Selain syair, beberapa novel juga dia tulis salah satunya adalah Student Hidjo yang berisi tentang 'kegilaan' seorang Mas Marco terhadap gaya hidup dunia barat. Dalam novel itu dirinya mencoba membuka kontradiksi dan 'kegagapan' para priyayi yang menjalani kehidupan ala barat di Belanda.

Empat kali Mas Marco masuk penjara dengan jeratan Undang-undang kolonial itu namun tidak membuat dirinya surut. Sikap kerasnya melawan pemerintah kolonial membuat kagum seorang Soewardi Soerjaningrat yang dituangkan dalam sebuah tulisan di Majalah Sarotomo, seperti dikutip oleh Akira Nagazumi dalam ejaan lama :

“Memang membela bangsa itoe tidak moedah dan tidak menjenangkan, namoen ini kewadjiban kita.Ingatkah, jang berbahagia boekanlah mereka jang menjandang gelar dan pangkat, bagi saja, kebahagiaan jang paling besar berada dalam fikiran saja. Saoedara telah mengorbankan diri dan semoea hoekoeman sesoenggoehnja meroepakan seboeah bintang kehormatan bagi saoedara dan itoelah lambang kebahagiaan saoedara. Sekarang, di mata saja pangkat saoedara sangat tinggi, karena soedah djelas, kebahagiaan saoedara terletak dalam oepaja membela bangsa. Djanganlah mengira bahwa tak ada orang lain jang akan meneroeskan pekerjaan saoedara. Poeloehan orang nanti akan menggantikan saoedara. Berani karena benar !

Ideologi dan Lindasan Sejarah

Mas Marco selain menyelami dunia jurnalistik juga menggeluti aktivitas politik. Terlahir sebagai bagian dari kaum Samin, Mas Marco mengawali karir politiknya sebagai aktivis Sarekat Islam di Surakarta.

Dirinya memegang peranan penting dalam organisasi itu setelah tokoh sentral SI Surakarta, RM. Tirto Adhi Soerjo wafat dan Haji Misbach dibuang Belanda ke Manokwari, Papua oleh Belanda.

Selain mengorganisir SI Surakarta, Mas Marco juga menghela dua organisasi lainnya yakni Sarekat Rakyat dan Partai Komunis Indonesia.

Dia akhirnya ikut dibuang ke Boven Digul usai kegagalan pemberontakan PKI pada tahun 1926 yang berimbas pada pembersihan besar-besaran anggota partai tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda dan meninggal di kamp konsentrasi tahanan politik pertama di dunia itu pada tahun 1935.

Sikap dan pilihan ideologi Mas Marco yang memutuskan untuk menjadi komunis pada akhir karir politiknya membuat dirinya terdengar sayup dalam perjalanan sejarah Republik ini.

Terlebih pada era Orde Baru di bawah kendali Jenderal Soeharto, seluruh peran aktif para tokoh pers di era sebelum kolonial Jepang memasuki Nusantara diberangus habis, terlebih mereka yang bersinggungan dengan ideologi komunis.

Pada tahun 1974, PWI memberikan penghargaan kepada puluhan tokoh pers yang pernah berjasa dalam pengembangan dunia jurnalistik di Indonesia. Nama Sang Pemula, RM. Tirto Adhi Soerjo dan Mas Marco Kartodikromo masuk dalam deretan penerima penghargaan. Namun atas intervensi pemerintah saat itu, nama Tirto Adhi Soerjo dianulir sebagai penerima penghargaan dan Mas Marco hanya disajikan 'secuil' saja. Alasannya, kedua tokoh itu pernah bersinggungan dengan ideologi komunis dan dapat mengganggu stabilitas nasional.

Kebijakan de-ideologisasi dan de-politisasi massa yang diterapkan Rezim Orde Baru semakin menenggelamkan catatan sejarah para tokoh-tokoh yang pernah menjadikan komunis sebagai ideologinya termasuk Mas Marco Kartodikromo.

Dirinya hilang ditelan sajian sejarah formal Orde Baru dan kalangan pers di Indonesia (meski tidak semuanya) saat itu asyik berkolaborasi dengan Negara sehingga melupakan peran dan fungsi kontrol mereka.

Pergeseran politik di tahun 1998 juga tidak membawa dampak signifikan terhadap kebijaksanaan sejarah. Meski banyak fakta-fakta sejarah, terutama soal politik, yang mulai dibuka seperti Peristiwa 1965 namun fakta sejarah peran serta kalangan pers sebelum kemerdekaan masih belum disajikan secara obyektif.

Sosok Mas Marco Kartodikromo yang memiliki peran luar biasa dalam perjalanan pers Indonesia sudah selayaknya ditempatkan dalam posisi obyektif tanpa memandang pilihan ideologi yang dijalani.

Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa sejarah adalah berguna sekali. Dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia. Salah satu hukum itu ialah: Bahwa tidak ada bangsa bisa menjadi besar 'zonder' kerja. Terbukti dalam sejarah segala zaman, bahwa kebesaran bangsa-bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit. Kebesaran-bangsa dan kemakmuran selalu "kristalisasi" keringat. Ini adalah hukum, yang kita temukan dari mempelajari sejarah. Bangsa Indonesia, tariklah moral dari hukum ini!

Kiranya melalui peringatan Hari Pers Nasional saat ini, insan pers di Indonesia dapat mendudukkan kembali sejarah dan peranan para tokoh pers, termasuk Mas Marco Kartodikromo, sebagai salah satu pelaku sejarah pers yang memiliki peran dan sikap tegas dalam menjalankan profesinya sebagai seorang jurnalis.

Dirgahayu Pers Indonesia.