Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menimbang Ulang Penetapan Honorer Menjadi CPNS
Oleh : Redaksi
Rabu | 04-04-2012 | 12:13 WIB

Oleh: Raja Dachroni*

DALAM waktu dekat Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi (RB) akan melakukan proses pengangkatan pegawai honorer daerah (Honda) menjadi CPNS. Tentu ini kabar gembira bagi para honorer yang memang sudah relatif lama bekerja, tapi bagi penulis sebelum diangkat menjadi CPNS memang perlu dilakukan proses validasi data dan pertimbangan ulang terhadap kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di setiap daerah sebelum pengangkatan honorer menjadi PNS ini dilakukan. 

Bahkan, Azwar Abubakar, Menteri PAN RB dalam rilisnya di beberapa media massa mengakui dan membenarkan hasil verifikasi dan validasi honorer memunculkan indikasi rekayasa atau manipulasi. Berdasarkan data yang dilansir Wakil Kepala BKN Eko Sutrisno dari 152.130 tenaga honorer kategori 1, hampir semuanya telah divalidasi dan diverifikasi. Hasilnya. Hingga 31 Desember 2011 sebanyak 72.569 memenuhi kriteria (MK), dan sebanyak 77.891 yang tidak memenuhi kriteria.

Sedangkan tenaga honorer kategori II yang telah sampai BKN per 31 Mei 2011 berjumlah 633.824 orang. Jumlah ini mengalami penambahan data kategori I sebanyak 8.956, sehingga jumlahnya menjadi 642.780 orang. Mereka terdiri dari tenaga honorer di instansi pusat sebanyak 84.996 dan di daerah 577.784 orang. Ini membuktikan sejak terbitnya PP No. 48 tahun 2005 tentang pengangkatan Pegawai Honorer Daerah (PHD) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah memberikan efek yang luar biasa khususnya dari sisi kuantitas.

Namun, sisi lain harus diakui pula, terbitnya PP No. 48 tahun 2005 tentang pengangkatan Pegawai Honorer Daerah (PHD) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), memang suatu hal yang harus diapresiasi karena keluarnya PP ini adalah bentuk apresiasi pemerintah terhadap para tenaga honorer yang telah bekerja belasan tahun di lingkungan pemerintahan. Bahkan untuk mengakomodir suara-suara di daerah juga pemerintah mengubah PP tersebut dan mengeluarkan PP 43/2007, dimana persyaratan  kerja diubah menjadi minimal 1 tahun pada tanggal 1 Desember 2005 yang sebelumnya persyaratan kerja 5 sampai 20 tahun.  

Penulis pun mencoba melakukan diskusi dengan akademisi, pakar kepegawaian  dan mantan pejabat BKN terkait masalah ini. Ternyata ada cukup banyak persoalan dan menurut penulis ini harus disikapi dengan serius ditengah cukup banyaknya oknum yang bermain mata di ranah ini. Beberapa persoalan itu antara lain. Pertama, jumlah PNS bertambah dengan pesat, dari 3,6 juta pada tahun 2002 menjadi 4,7 juta pada tahun 2010 sebagai akibat dari  pemekaran daerah dimana CPNS direkrut dalam rangka mengisi jabatan yang terus bertambah dan Pengangkatan langsung PTT dan Sekretaris Desa menjadi CPNS.

Kedua, terjadi mismatch antara kualifikasi yang diperlukan dan kualifikasi pegawai yang ada, karena yang diangkat menjadi CPNS, terutama dari jalur PTT, umumnya tenaga administrasi. Ketiga, Pemda terus merekrut PTT, walaupun sudah ada larangan, dengan harapan setelah tahun 2009 akan ada lagi pengangkatan langsung PTT menjadi CPNS. Keempat, belanja pegawai terus membengkak sehingga kemampuan daerah untuk menyediakan pelayanan public menjadi terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan data yang dilansir BKN Desember 2011 dimana rata-rata belanja APBD di setiap daerah sekitar 30 hingga 50 persen di setiap propinsi. Kelima, terjadi pemalsuan dokumen dan jual beli jabatan PTT di daerah sehingga banyak diantara PTT yang masuk data-base sebenarnya tidak berhak diangkat menjadi CPNS.

Keenam, meluasnya tuntutan dari guru kontrak (GTT) dan tenaga honorer yang bekerja di sekolah dan rumah sakit swasta untuk diangkat menjadi CPNS. Di samping permasalahan ini terjadi juga praktek kecurangan dalam setiap proses pengangkatan CPNS dari kalangan pegawai tidak tetap yang gajinya dibiayai oleh APBD. Kita mengetahui bahwa PNS merupakan orang-orang yang akan menggerakkan jalannya fungsi birokrasi.

Kita tidak bisa membayangkan ditengah penyimpangan proses validasi data ditingkat daerah bahkan dicurigai juga ada oknum BKN yang main mata dengan Pemda untuk mencederai proses validasi data tersebut. Pertanyaannya, bagaimana dengan kualitas pelayanan birokrasi di Indonesia dan khususnya daerah ke depan jika masalah ini tidak segera diungkap. Dengan jumlah pengangkatan yang relatif besar tersebut tentunya harus ada pengetatan dan penyeleksian berkas kembali yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah dan di daerah juga harus ada keterbukaan informasi masalah ini ke masyarakat agar kemudian masyarakat bisa mengontrol ini. Sehingga kemudian masyarakat tidak curiga dan mampu berpikir positif kepada pemerintah daerahnya karena selama ini masyarkat justru menilai hanya sebagian masyarakat yang dekat dengan penguasa saja yang bisa mendapatkan kesempatan ini, sisanya tidak walaupun sudah berpeluh keringat juga tidak diangkat menjadi CPNS.

Apalagi proses pengangkatan juga ternyata tidak sejalan dengan kebutuhan. Bagi penulis, ini menimbulkan masalah besar dikemudian harinya dan tentunya membebankan APBD khususnya pada pos belanja pegawai. Dengan kata lain, proses pengangkatan ini harus ditinjau ulang. Jika tidak, berdasarkan diskusi penulis dengan para akademisi dan orang-orang yang memang tahu banyak dengan persoalan ini akan menimbulkan empat hal masalah lainnya yakni pertama, terjadi inefisiensi karena jumlah pegawai yang ada melebihi kebutuhan.

Kedua, kinerja organisasi pemerintah semakin menurun karena pegawai yang ada kualifikasinya kurang sesuai dengan yang diperlukan. Ketiga, akan ada sejumlah Pemerintah Daerah yang mengalami kebangkrutan karena penambahan jumlah pegawai akan membawa konsekuensi pada naiknya belanja pegawai dan terakhir atau keempat, kemampuan daerah untuk menyediakan dana bagi operasional pelayanan public serta belanja modal semakin menurun sehingga pelayanan publik akan menurun dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat.

Kekhawatiran ini harus diantisipasi sejak dini. Kita berharap BKN tidak cepat-cepat mengeluarkan SK walaupun dalam kategori tingkat pertama hal ini sudah dilakukan. Bagi penulis, ini adalah kesempatan Menpan & RB untuk membuktikan awal proses reformasi birokrasi. Masalah rekayasa data oleh oknum-oknum tertentu baik di pusat maupun di daerah harus diberikan sanksi tegas. 

Selain itu, terkait masalah ini penulis juga memiliki beberapa buah solusi dan saran sampai kemudian persoalan ini benar-benar matang khususnya masalah verivikasi dan validasi data pegawai honorer baik di tingkat pusat maupun daerah. Pertama, pengangkatan PTT, khususnya kategori II, ditinjau kembali karena akan mendorong meluasnya tuntutan untuk menjadi CPNS. Kedua, verifikasi data PTT kategori I dan II diperketat karena ada indikasi bahwa sebagian dari nama yang masuk data-base sebenarnya tidak memenuhi persyaratan, direkrut setelah 1 Januari 2005  (menggunakan dokumen palsu). Ketiga, harus ada penegasan dari Pemerintah bahwa instansi di pusat maupun daerah tidak dibenarkan menerima PTT dan kekurangan pegawai dapat diatasi melalui outsourcing. Keempat, kepala daerah perlu turun tangan dan berupaya semaksimal mungkin memberikan data yang jujur dan juga berani bersikap tegas terhadap bawahannya yang berani melakukan validasi data. Semoga dengan proses seleksi yang ketat ditingkat verifikasi dan validasi data pegawai honorer ini akan lahir CPNS-CPNS yang siap bekerja dan melayani masyarakat dan mudah-mudahan kita memahami masalah ini adalah bagian dari perbaikan kinerja aparatur kepegawaian dan sebagai wujud dari implementasi upaya reformasi birokrasi yang saat ini sedang digembor-gemborkan oleh Kementerian PAN dan RB.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Riau (UR) dan Sekretaris Eksekutif LPEMH Kepulauan Riau.