Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Punya Sertifikat Hak Milik, Warga Guntung Punak Gugat Pemerintah di PN Karimun
Oleh : Wandy
Rabu | 12-09-2018 | 18:05 WIB
daftar-gugatan.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Direktur LBH Bonaparte, Capt Samuel Bonaparte Hutapea bersama warga Guntung Punak saat hendak mendaftar gugatan ke PN Karimun. (Foto: Wandy)

BATAMTODAY.COM, Karimun - Warga Guntung Punak, Kelurahan Darusalam, Kecamatan Meral Barat, Kabupaten Karimun mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Karimun terkait lahan milik mereka yang diklaim pemerintah sebagai hutan lindung. Bahkan ada beberapa warga yang sudah memiliki sertifikat hak milik.

Muhaidir, salah seorang warga yang lahannya juga diklaim sebagai hutan lindung mengatakan, awalnya di pemukiman tersebut dulunya tidak termasuk hutan lindung. Namun semenjak 2015 silam, karena adanya Program Prona pada saat pengukuran daerah tersebut dinyatakan hutan lindung.

"Karena pada saat Badan Pertanahan Negara menyatakan bahwa daerah kami ini tidak bisa diukur karena termasuk dalam hutan lindung. Sementara lahan itu dikelola masyarakat dari turun temurun, sudah berapa generasi bahkan lahan itu ada yang berstatus sertifikat hak milik dan yang mengeluarkan itu adalah BPN dan itu tidak main-main sekarang malah diklaim hutan lindung. Jadi sekarang yang betul yang mana?" kata Muhaidir di PN Karimun, Rabu (12/9/2018) sore.

Ia juga mengatakan, sementara sertifikat hak milik warga itu sudah terbit sejak lama. Apabila dimintai sebagai bukti, pihaknya siap untuk menunjukan arsip tersebut.

Masih kata Mahaidir, jalan-jalan umum di Kelurahan Darusalam itu juga termasuk hutan lindung, rumah-rumah warga juga termasuk dan Stadion Badang Perkasa juga termasuk sebagai hutan lindung.

"Nah, jadi penentuan hutan lindung itu seperti apa, dan itu dipertanyakan oleh masyarakat Guntung Punak," katanya.

Pihaknya hanya meminta haknya dikembalikan dan jangan dizolimi. Sebab, warga tidak meminta yang lain. "Kami mohon hak masyarakat itu tolong dikembalikan. Kami masyarakat jangan dizolimi, kami tidak meminta yang aneh-aneh. Jadi ada Program Prona ini kami tidak bisa bikin sertifikat dengan alasan terkait hutan lindung," ungkapnya.

Sementara itu, Direktur LBH Bonaparte, Capt Samuel Bonaparte Hutapea selaku kuasa hukum dari masyarakat Guntung Punak mengatakan, melakukan gugatan untuk meminta pengeluaran tanah-tanah yang dinyatakan sebagai hutan lindung yang tidak sesuai dengan prosedur hukum.

"Di mana tanah tersebut dinyatakan sebagai hutan lindung yang telah dimiliki dan dikuasai oleh warga, sementara sebagian warga sudah memiliki sertifikat hak milik. Sehingga tidak mungkin dua keputusan tata urusan negara mengatur hal yang sama dengan konsekuensinya bertolak belakang satu dengan yang lainnya," kata Samuel.

Menurut dia, apabila sudah diberikan hak kepemilikkan tidak mungkin itu disebut hutan lindung. Karena apabila itu hutan lindung, seharusnya bukan hak milik pribadi.

"Karena di dalam konsep hukum agraria di Indonesia, itu hak tanah, negara memiliki hak menguasai mengatur sebagai regulatornya bukan sebagai memiliki seperti halnya milik pribadi dan itu tidak sama," katanya.

Ia menjelaskan, pada zaman kolonial, pada saat bumbu dapur kita dicuri oleh sebuah bangsa, mereka menerapkan sistem kepemilikan. Di mana tanah-tanah yang tidak dapat dibukti dalam hak kepemiliknya dinyatakan sebagai milik negara.

Seharusnya pemerintahan sekarang berdasarkan UU Agraria konsepnya tidak demikian, karena negara itu mengatur dan menghormati hak-hak kepemilikan yang ada. "Terhadap tanah yang dimilik secara pribadi dikuasi oleh negara tersebut dan dimintai hak kepemilikkan itu sangat akan mencederai rasa keadilan. Sebab sebuah lokasi di mana sudah memiliki hak kepemilikan warganya malah ditetapkan sebagai hutan lindung daerah tersebut sehingga sangat mencederai rasa keadilan," jelas dia.

Menurut dia, negara boleh mengambil tanah yang dimiliki oleh warga. Namun dalam keadaan darurat apabila diperlukan untuk kepentingan umum. Akan tetapi, tetap ada prosedurnya secara sepihak dan tidak serta merta dan itu tidak terjadi seperti di sini.

"Sehingga dua keputusan itu saling bertentangan satu dengan yang lainnya dan prosesnya tidak sesuai dengan hukum. Itu yang kita mintakan. Besar harapan kita itu pemerintah mencabut hal tersebut dan ini bukan hanya terjadi di Kepri saja melainkan terjadi juga di provinsi lain dan ini harus segera ditertibkan," ucapnya.

"38 ini merupakan data yang kita terima dan lengkap, yang lainnya dan kita akan lanjutkan lagi dengan gugatan berikutnya setiap berkas lengkap kita akan ajukan kembali, kita masih mengumpulkan data," tambahnya.

Program pemerintah saat ini, ada Target Objek Feformasi Agraria (TORA) dan ada Prona, di mana negara berusaha memberikan hak-hak tanah terhadap warganya. Dalam hal ini terjadi hal yang kontradiktif di mana tanah yang dimiliki atas warga dinyatakan sebagai hutan lindung.

Warga melalui LBH Bonaparte mengugat Pemerintah Pusat dalam hal ini tergugat satu Presiden RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tergugat dua penguasa wilayah yakni Gubernur Kepri dan tergugat tiga Dinas Lingkungan Hidup Kepri.

Dan adapun pihak-pihak lain yang terkait secara tidak langsung antara lain, pihaknya juga menarik Panglima TNI sebagai turut tergugat. Pasalnya di lokasi tersebut ada Markas TNI di mana juga dinyatakan sebagai wilayah hutan lindung. Artinya Panglima TNI dalam hal ini sama-sama menjadi korban atas penindakan hutan lindung tersebut.

Editor: Gokli