Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

TAP MPR Tetap Jadi Norma Hukum dan Acuan Landasan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Oleh : Irawan
Minggu | 19-08-2018 | 10:32 WIB
tap-mpr1.jpg Honda-Batam
dari kiri ke kanan - Rambe Kamarul Zaman, Refly Harun, Maria Farida Indrati dan Hamdan Zoelva

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketetapan (TAP) MPR tetap menjadi norma hukum dan harus menjadi acuan landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan, meskipun kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR mengalami perubahan dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara atau sejajar dengan lembaga-embaga tinggi negara lain.

Hal itu merupakan kesimpulan dari Saresehan Nasional 'Memperkuat Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam Sistem Hukum Indonesia' dalam rangka memperingati Hari Konstitusi yang yang digelar oleh MPR RI, di Kompleks, Senayan, Jakarta, Sabtu (18/8/2018).

Sareshan ini menghadirkan narasambur Ketua PAH I MPR Rambe Kamarul Zaman, mantan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan mantan Ketua Mahkamah Kontitusi Haman Zoelva, serta pakar hukum tata negara Refly Harun sebagai moderator.

Menurut Refly, saat membacakan hasil kesimpulan saresehan menyebaut, banyak sekali perbedaan-perbedaan pendapat mengenai MPR dan TAP-TAP MPR walaupun sudah diputuskan sekalipun.

Sebagai contoh misalnya, ketika bicara tentang TAP MPR, ada yang menyatakan bahwa TAP MPR itu adalah sebuah norma hukum, norma yang masih berlaku. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa itu (TAP MPR) hanya etika saja. Jika TAP MPR menjadi norma hukum, maka kemudian TAP MPR harus menjadi acuan, menjadi landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Karena kalau dia sebagai norma kan dia (TAP MPR) mesti masuk dalam hirarki di atas undang-undang jadi, konsekuensinya adalah proses pembentukan undang-undang ya itu harus mengacu kepada TAP MPR (ex-officio), tapi kalau dia hanya sebagai etika ya maka dia hanya sebagai sebuah landasan moral etik saja. Dia atau TAP MPR tidak punya konsekuensi apa-apa. Nah ini menurut saya harus diselesaikan," kata Refly.

Seperti diketahui, Ketetapan MPR yang sudah ada memiliki sifat mengatur (regeling) dan bersifat keputusan (beschikking) dan ini dikuatkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011. Tapi, sudah ada kesepakatan pasca amandemen UUD 1945 bahwa MPR tidak bisa lagi mengeluarkan TAP MPR yang besifat mengatur

"Tapi kan UU bisa berubah. Nah bicara soal dibuatnya produk Ketetapan MPR yang bersifat beschikking yang baru ke depannya, lagi-lagi ada perbedaan. Ada yang mengatakan bisa MPR membuat buat produk yang bersifat beschikking yaitu Ketetapan MPR mengenai pelantikan Presiden dan Wakil Presiden bahkan dilampiri dengan visi dan misi tapi ada juga yang mengatakan tidak perlu, cukup bahwa produk yang bersifat beschikking MPR 2 hal saja yakni soal penetapan Presiden dan Wapres jika pemilihan melalui MPR dalam konteks Presiden dan Wapres berhalangan dan ketika mengubah dan menetapkan konstitusi saja baru kemudian bisa membuat produk yang sifatnya beschikking. Nah hal-hal seperti ini, saya rasa harus diselesaikan," ujarnya.

Hal selanjutnya yang penting adalah soal amandemen konstitusi. Jika dilihat, hanya ada dua materi saja yang dipersoalkan. Yang pertama, adalah materi tentang kewenangan MPR yang dianggap tidak terlalu kuat lagi sehingga ada pihak yang menantang kembali saja kepada yang lama atau kembalikan kewenangan MPR seperti dulu.Yang kedua adalah, mengenai tidak adanya Pancasila di dalam pasal-pasal dalam UUD.

"Terhadap kedua materi persoalan tersebut, kalau saya berpandangan ya not necessary ya untuk dilakukan perubahan konstitusi. Tapi, kalau kita bicara mengenai soal-soal yang teknis dan substantif perlu sekali. Soal yang teknis misalnya, betapa sulitnya UUD kita ini naskahnya 'enggak karu-karuan'. Kalau di Amerika naskah asli bisa kita baca lalu kemudian ada 27 amandemen itu dilampirkan ya kan tapi naskah asli tetap bisa kita baca. Kalau kita perubahannya terlalu fundamental dan terlalu banyak semua diubah, sehingga antara naskah asli dan perubahan itu itu sudah berbeda sama sekali dari sisi paradigma bahkan menghilangkan lembaga," terangnya.

Untuk kepentingan teknis ke depan, menurut Refly, perlu ada perubahan UUD cukup mengatakan bahwa UUD Indonesia itu adalah UUD yang ada sudah berubah dan kemudian diletakkan dalam satu naskah. Jadi, UUD itu dalam satu naskah, satu kesatuan jadi bentuknya bukan lagi addendum.

"ni hanya soal teknis, Jika kita bicara kepentingan teknis dan akademik ya jauh lebih mudah kalau kemudian semua naskah itu bisa dijadikan dalam satu naskah dan kita tidak lagi mengenal teknis penomoran seperti 8, 18a, 18b dan lainnya, kita akan betul-betul buat itu dalam sebuah nomor urut yang baik, pengklasifikasian yang baik, nama-nama yang baik dan lain sebagainya yang paling tidak itu dulu teknisnya. Substanstinya tentu ada beberapa ya seperti MPRnya mau dikemanakan, DPD mau diapakan," katanya.

Refly mengungkapkan, dalam sarasehan tersebut, yang bisa diserap tidak hanya soal aturan yang sudah baku formal yang sudah diputuskan tapi ada juga muncul pemikiran-pemikiran yang berbeda dan penting juga untuk menjadi bahan pembentukan keputusan-keputusan konkrit ke depan.

"Inilah pekerjaan-pekerjaan rumah (PR) kita yang banyak sekali. Perlu sama-sama bangsa ini sadari memang masalah ketatanegaraan ini yang sudah belasan tahun ini tidak bisa diselesaikan semudah itu dalam satu atau dua seminar yang hanya beberapa jam saja. Tapi, perlu terus pengkajian demi pengakjian dan pembahasan demi pembahasan sampai ditemuka satu titik solusi yang baik untuk semua," tandasnya.

Editor: Surya