Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Saham Harus Dibeli, Divestasi PT Freport Dinilai Fahri bukan Sebuah Prestasi
Oleh : Irawan
Senin | 16-07-2018 | 08:40 WIB
fahri_gatot2.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hanzah menegaskan bahwa kesepakatan Pemerintah Indonesia via Inalum mendapat saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 51% bukan sebuah prestasi.

"Tak ada prestasi, karena saham tersebut harus beli. Itu mekanisme pasar biasa," kata Fahri dalam pesan singkatnya yang diterima wartawan, Minggu (14/7/2018).

Menurut Fahri, keuntungan PTFI di bawah rezim KK (Kontrak Karya)-nya UU Pokok Pertambangan yang kini dikoreksi oleh UU Minerba, sudah lebih dari cukup bahwa pelepasan saham PTFI ke pemerintah tidak harus jual beli dan serahkan begitu saja, tapi cukuplah dikelola sendiri.

"Negara berdaulat tidak selayaknya meletakkan diri serendah itu, atau membungkuk serendah perseroan. Ini sangatlah memalukan," cetusnya seraya mengingatkan dengan kasus divestasi Newmont, dimana utang membuat daerah tak dapat apa-apa dan akhirnya harus dijual lagi.

Bahkan sekarang, tambah politisi dari PKS itu lagi, akan dibeli lagi oleh perusahaan asing pasca IPO. Jadi, kata Fahri, dimana letak kedaulatan divestasi.

"Kita baru tahu kalau telah kita ditipu. Begitu pula hal dengan Freeport, bahwa kesepakatan dengan PT FI membuat FI untung 2 hal secara langsung. Pertama, bisa eksport konsentrat, kedua mendapat jaminan perpanjangan operasi dan tak perlu bayar kerugian negara," katanya.

"Semua ini keuntungan seketika kaum kapitalis itu. Padahal menurut UU Minerba, ekspor konsentrat bisa dilakukan jika PTFI, kontrak karyanya diubah jadi IUP dan harus membangun smelter di Indonesia (khususnya Papua). Sekarang bagaimana?" tambahnya.

Disampaikan Fahri, perubaban rezim KK (Kontrak Karya) menjadi IUP (Ijin Usaha Pertambangan), bangun smelter, divestasi saham, perubahan besaran royalti dan luas wilayah penambangan adalah untuk mematuhi UU Minerba, bukan perpanjangan KK.

"Ini nego apa? Mestinya, pembahasan perpanjangan KK dilakukan oleh pemerintahan terpilih tahun 2019, atau 2 tahun sebelum KK berakhir (2021). Apa yang diburu? Rakyat itu berhak tahu apakah ini ada hubungan dengan pemilu atau dukungan negara tertentu?" katanya.

Mastinya, lanjut Fahri lagi, semua itu harus dilakukan dengan disesuaikan dengan UU Minerba. Sebab jika tidak, bisa timbulkan kerugian negara.

"Silahkan KPK menyuruh BPK mengaudit secara menyeluruh, kalau berani terbuka sekalian deh," tantangnya.

Sebab, menurut dia UU Minerba adalah bentuk fungsi pengaturan dalam hak menguasai negara. Tapi kini, pemerintah via negosiator sedang jalankan negosiasi. Tentu tak boleh bertentangan dengan kebijakan dan pengaturan Minerba sebab itu juga artinya bertentangan dengan UUD45.

"Jangan lupa bahwa untuk menegakkan Pasal 33 UUD 1945 maka kebijakan yang tersurat dalam UU Minerba adalah mengkoreksi model kontrak karya. Jadi bukan sekedar ganti jadi IUP tetapi meletakkan negara sebagai penguasa SDA," katanya mengingatkan.

Masalah dalam negosiasi KK ini, sambung anggota DPR asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, ada karena tidak bisa membedakan antara penyesuaian kepada UU Minerba dengan mekanisme perpanjangan kontrak yang sebetulnya lebih teknis. Dirinya menduga hal-hal teknis telah melangkahi substansi dalam UU dan Konstitusi.

Seharusnya dalam negosiasi, posisi pemerintah adalah jika PTFI tidak mau patuh pada UU Minerba maka KK tidak akan diperpanjang. Itu saja dulu. Begitu pula jika pihak Freeport mengancam angkat perkakas, silakan. Yang berharga kan mineralnya bukan perkakasnya.

"Itulah mentalitas yang harusnya ada dan waktunya tahun depan setelah seorang presiden baru mendapat mandat yang lebih segar dari rakyat. Bukan yang lama yang kemungkinan besar tidak terpilih lagi. Atau apakah ini dipakai untuk terpilih lagi? Wallahualam," tutup Fahri Hamzah.

Editor: Surya