Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Ratakan Kantor Kami dengan Tanah
Oleh : Redaksi
Selasa | 05-06-2018 | 11:16 WIB
ilham-bintang.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilham Bintang. (Foto: Ist)

Oleh Ilham Bintang

PENGGERUDUKAN kantor surat kabar Radar Bogor, Rabu (30/5), oleh kader PDI Perjuangan buat saya itu aksi pembungkaman pers. Bukan cuma aksi pelurusan berita, menurut versi penggeruduk. Urusan pelurusan berita mudah. Semua orang tahu. Ada mekanisme yang mengaturnya.

Gunakan hak jawab. Tak cukup? Adukan ke Dewan Pers. Belum puas juga? Lapor ke polisi. Hadapkan penangungjawab media ke meja hijau. Begitu aturan UU Pers. Wartawan tidak kebal hukum. Yang bikin kita nelangsa, penggeruduknya kader PDI-P. Direstui pula oleh pimpinannya.

Dengarlah kata Sekretaris Fraksi PDIP, Bambang Wuryanto. Dia malah lebih geram dari kader di lapangan. Katanya, kalau (kejadiannya) di Jawa Tengah, sudah rata dengan tanah kantor ( Radar Bogor) itu. Dalam Talkshow di TVOne yang dipandu Chacha Anissa, Sabtu ( 2/6) malam, saya menyoal pernyataannya.

Bambang mengungkap alasan merestui dalam nada geram sampai ngos-ngosan. "Hubungan emosional kader itu dengan Ibu Megawati sangat dekat. Seperti anak dan ibunya," katanya.

Padahal, yakin dia tahu, atas nama keyakinan pada agama, Nabi, dan Tuhan saja pun tidak dibenarkan bertindak di luar hukum di negeri ini. Menggeruduk kantor surat kabar itu di luar hukum.

Yang disoal kader PDI Perjuangan, Headline Radar Bogor. Secara menyolok di HL ditulis dengn huruf segede gaban : "Ongkang-Ongkang Kaki Terima Gaji 112,5 Juta". Yang dimaksud Megawati. Memang foto Ketua PDI Perjuangan yang menghiasi halaman muka.

Hazairin Sitepu, CeO Radar Bogor, balik bertanya kepada TVOne. "Apa yang salah dalam beritanya? Itu berita basi. Jumlah gaji dari Peraturan Presiden. Dimana-mana sudah diberitakan dan viral di media sosial," paparnya. "Karena itu kami tidak meminta maaf soal berita itu," tegas Sitepu.

Apapun. Yang jelas gerudukan telah menodai Hari Pancasila pada 1 Juni. Apalagi pas di hari itu, yang dikenang sebagai hari pertama Bung Karno memperkenalkan ideologi Pancasila, massa PDIP kembali merangsek di kantor Radar Bogor. Rupanya mereka tak hiraukan imbauan menahan diri. Juga hujan kecaman banyak organisasi terhadap aksinya.

Tuntutannya: Radar Bogor cabut berita dan minta maaf kepada Megawati.

"Saya mengabulkan hak jawab. Saya menyatakan apabila pemasangan foto Ibu Mega menganggu, kami minta maaf. Cuma itu. Kami minta maaf bukan soal berita," sambung Sitepu.

Megawati sendiri tidak pernah kita dengar memprotes pemberitaan Radar Bogor.
Radar Bogor memang bukan satu-satunya media yang menyoroti hak keuangan pejabat BPIP. Hampir semua media bikin ulasan. Selepas Presiden Jokowi mengumumkan gaji para negarawan itu. Media mainstream, online, maupun media sosial.

Tapi yang kita catat, satu-satunya anggota BPIP yang "mengamok" cuma Prof Mahfud MD. Tiap hari nantang siapa saja yang kedapatan oleh dia berkomentar soal gaji BPIP. Seperti orang miskin yang dijambret uangnya. Dan, kebetulan tinggal cuma segitu- gitunya. Luar biasa memang hitungan gaji BPIP mengusik ibadah bulan puasa.

Banyak Tak Patuhi Kode Etik

Sejak reformasi pers memang belum menikmati kemerdekan sepenuhnya. Seperti yang menjadi agenda refornasi. Tentulah, sebabnya juga bersumber dalam diri pers sendiri. Masih banyak yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Lemah dalam disiplin verifikasi. Main hantam kromo. Tubruk lari. Kurang kompeten dan lain sebagainya.

Dasar pertama-tama sebuah berita adalah fakta. Tetapi, wartawan bijak mempertimbangkan tidak semua fakta dapat diberitakan.

Dalam kasus BPIP misalnya, banyak media yang keliru. Kenapa Megawati diposisikan buruk? Makan gaji buta. Yang mengangkat dan menentukan hak keuangan anggota BPIP, dan juga mengumumkan, Presiden Jokowi. Kenapa tak kejar Jokowi. Tanya.

Secara jujur saya sendiri tidak suka kata "ongkang-ongkang kaki" yang digunakan Radar Bogor. Ini seperti merendahkan. Namun, reaksi saya ditutup oleh aksi gerudugan. Saya tidak membenarkan aksi penggerudukan untuk meluruskan persepsi itu.

Pers kita memang sering over dosis. Sibuk urusan printil-printil. Akrab dengan sensasi. Menjauh dari substansi. Tetapi pantaskah media pers digeruduk jika tersedia mekanisme untuk mendidiknya? Meluruskan pemberitaannya?

Bagaimana pun itu pers kita. Pers bangsa. Baik buruk adalah representasi kita secara keseluruhan.

Sekali lagi yang menyedihkan dan yang memperihatinkan karena yang menggeruduk adalah kader tokoh-tokoh pro demokrasi. Bahkan tokoh-tokoh inspiring pers. Karena tokoh itu juga dulu yang ikut berjuang perlunya negeri ini memiliki pers yang merdeka.

Dengan peristiwa Radar Bogor ini, sudah dua peristiwa penggurudukan kantor media di era reformasi. Ini saya batasi dua karena khusus menyorot yang pelakunya dari kader kampiun demokrasi Indonesia.

Yang pertama di era pemerintahan Gus Dur. Waktu itu kadernya menggeruduk kantor Jawa Pos di Surabaya. Gus Dur pasti tidak tahu dan merestui. Memang begitulah ulah kader. Sering lebih galak dari bosnya. Maunya melindungi. Tetapi over dosis. Jadilah bossnya yang menanggung malu. Seperti saya kira yang dialami Megawati sekarang.

Tapi jangan bungkam pers. Jangan juga bungkam penegak hukum.

Bungkam penegak hukum? Ya. Oleh Pers. Ini cerita di zaman Presiden Megawati (2001-2004). Roda pemerintahannya belum lama berjalan waktu itu. Tapi sudah hadapi aksi unjuk rasa di mana-mana. Di Solo malah foto dibakar demonstran. Tentu saja jadi perkara. Polisi aktif mengusut pelaku. Termasuk meminta kesaksian wartawan yang memuat berita aksi pembakaran foto Ketum PDIP itu.

Malam-malam saya ditelpon wartawan dari Solo. Minta pendapat. Saya bilang kalau dipanggil polisi wajib datang. Ini wartawan rewel. Dia menanyakan hak tolak wartawan. Saya bilang hak tolak itu bukan untuk urusan pemanggilan polisi. Siapapun yang dipanggil resmi polisi harus datang, Presiden sekalipun.

Penuhi panggilan polisi itu, saya tegaskan. Sampaikan, berita itulah kesaksian wartawan. Beritahu polisi harusnya manggil pemimpin redaksi, bukan wartawan yang tugas di lapangan. Bahwa nanti pemimpin redaksi menunjuk wartawan sampeyan, itu hal lain.

Seminggu berlalu. Saya menelpon ke Solo mengecek kelanjutan cerita pemanggilan wartawan itu. Jawabannya bikin kecewa. Karena hadapi unjuk rasa siang malam dari wartawan, polisi menghentikan penyelidikannya.

Wah! Ini keterlaluan betul. Saya menyesalkan sikap wartawan yang arogan. Itu sama saja menyumbang preseden buruk bagi penegakan hukum ke depan. Polisi dan wartawan sama-sama rugi. Hilang kesempatan menguji pasal -pasal dalam UU Pers 40 /99 yang baru diberlakukan.

Yang terbayang jika terjadi sebaliknya. Wartawan atau masyarakat yang punya kepentingan untuk polisi lakukan proses hukum atas suatu kasus. Akan tetapi karena kasus itu melibatkan kader partai besar maka dihentikan polisi. Karena siang malam massa parpol besar itu menggelar unjuk rasa. Polisi pun ciut. Yang dirugikan pastilah masyarakat.

Oleh karena itu jangan bungkam pers. Jangan bungkam polisi. Biarkan hukum menemukan jalan kebenaran sendiri. Itu sebenarnya jalan terbaik untuk solusi kasus Rakyat Bogor Vs Kader PDIP.

Jangan ratakan kantor kami dengan tanah.

Penulis adalah Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)