Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tantangan Menyosialisasikan Pancasila ke Kalangan Militan
Oleh : Redaksi
Selasa | 29-05-2018 | 17:16 WIB
pancasila.JPG Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi cinta Pancasila. (Foto: Ist)

Oleh Toni Ervianto

SEBENARNYA, Pancasila adalah "master piece" dari founding fathers kita sebagai bentuk kecintaan mereka, sekaligus "legacy" mereka agar Indonesia tetap bersatu, semakin maju dan menjadi "role model" perdamaian dunia pasca mereka tiada. Bahkan sumbangan tokoh tokoh Islam sangat kuat pada saat menyusun Pancasila ketika mereka menyetujui penghapusan "piagam Jakarta" terkait penerapan tujuh katanya.

Banyak pemimpin dunia mengakui dan takjub/awesome terhadap Pancasila seperti Imam Masjid Al Azhar di Mesir, Hilary Clinton, Perdana Menteri Malaysia saat ini Mahathir Mohammad, Barrack Obama dan berbagai pemimpin dunia lainnya dan mereka yakin Pancasila adalah pemersatu Indonesia yang merupakan negara yang plural.

Banyak upaya pemberontakan untuk mengubah atau mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya di era Orla dan Orba berhasil digagalkan, sehingga Pancasila tetap eksis sampai saat ini.

Pertanyaannya adalah tantangan Pancasila ke depan semakin berat dengan adanya "ancaman global" seperti ideologi transnasional, ideologi khilafah, ideologi "bin Ladenism", menyeruaknya lesbi, gay, bisex dan transgender (LGBT) dan berbagai pertarungan ideologinya yang semuanya mudah masuk ke Indonesia di era Medsos, apalagi pengguna Medsos termasuk yang terbesar didunia.

Di ranah nasional, masih adanya pendukung Ormas militan atau radikal yang anti Pancasila juga masih eksis, bahkan eks HTI pun masih berpolitik praktis dengan memanfaatkan Pilkada, Pileg dan Pilpres yang calonnya seaspirasi politik dengan mereka akan didukung, walaupun banyak eks HTI yang sudah enggan berpolitik praktis.

Disamping itu, ada kelompok masyarakat yang menolak di data sebagai pemilih dalam Pilkada dengan alasan demokrasi berbeda dengan ideologi mereka, sehingga hal ini secara tidak langsung dapat dinilai bahwa kelompok masyarakat ini menolak Pancasila, karena Pancasilais tidak alergi dengan sistem demokrasi.

Inilah tantangan cukup berat bagi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP untuk menyosialisasikan Pancasila ditengah komunitas tersebut.

Untuk menjawab tantangan ini, kita tetap perlu mengedepankan mediasi, sosialisasi, dialog dan komunikasi yang konstruktif dan intens dengan mereka. Disamping itu, kelompok masyarakat yang sudah dilatih sebagai kader Pancasila dan unsur masyarakat lainnya yang memiliki akses dan kemampuan mempersuasi perlu diajak kerjasama dan dijadikan networking atau jejaring BPIP.

Disisi yang lain, persis seperti pendapat Kepala BPIP, Yudi Latif bahwa perlu digerakkan pendidikan Pancasila dan menciptakan kemampuan masyarakat untuk memiliki kecerdasan kolektif sehingga dalam menyikapi perbedaan dan dinamika kebangsaan serta kemasyarakatan ke depan selalu mengedepankan nilai nilai Pancasila. Semoga.

Penulis adalah alumnus Fisipol Universitas Jember (Unej) dan alumnus pasca sarjana UI