Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rangkaian Teror Desak Revisi UU Terorisme
Oleh : Redaksi
Kamis | 17-05-2018 | 19:16 WIB
iilustrasi_teroris.jpg Honda-Batam
Ilustrasi teroris dengan senjatanya. (Foto: Ist)

Oleh Abner Krei

SERANGKAIAN aksi teror dari pelaku tindak pidana terorisme terjadi kembali selama 2 pekan ini. Dimulai dari aksi pemberontakan narapidana tindak pidana terorisme (napiter) di Mako Brimob Kelapa Dua yang terjadi Selasa, 8 Mei 2018 pekan lalu dan mengakibatkan 5 orang anggota Polisi harus gugur meregang nyawa dan 1 orang napiter tewas.

Hanya berselang beberapa hari, aksi teror kembali terjadi dengan meladaknya bom bunuh diri yang terjadi pada Minggu, 13 Mei 2018 pagi di 3 Gereja di kota Surabaya yaitu Gereja Pantekosta Arjuno, Santa Maria dan GKI Diponegoro yang mengakibatkan 11 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya menderita luka-luka.

Tidak berhenti sampai disitu saja, aksi teror berlanjut dengan meledaknya bom di Rusunawa Wonocolo, Sidarjo yang mengakibatkan 5 terduga teroris tewas. Hanya selang beberapa jam saja di hari Senin, 14 Mei 2018 tepat pada pukul 08.50 WIB terjadi kembali peledakan bom dengan menggunakan sepeda motor di Mapolrestabes Surabaya.

Akibatnya, 4 terduga pelaku tewas di tempat kejadia dan melukai 4 anggota Polisi serta 6 warga sipil. Tidak hanya melakukan aksi teror dengan bom bunuh diri, semua terduga pelaku teror disinyalir merupakan keluarga.

Apakah kegiatan para terduga pelaku teror tersebut tidak bisa diantisipasi sejak awal? Seharusnya bisa, tapi apa yang sebenarnya menjadi kendala? Jawabannya terletak pada Undang-undang yang mengatur tentang radikalisme dan tindak pidana terorisme saat ini baru mengatur tentang penindakan.

Hal ini berarti, pihak aparat keamanan dalam hal ini Polri hanya dapat menangkap para terduga pelaku teroris, hanya jika mereka telah melakukan aksi. Sehingga, konsep Penanggulangan yang seharusnya dilakukan oleh pihak Kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum dapat dilaksanakan secara komprehensif.

Pasalnya, dikarenakan aturan yang berlaku saat ini belum mengatur tentang kegiatan-kegiatan dalam rangka pencegahan, mitigasi maupun deradikalisasi untuk mencegah terjadinya aksi teror yang meresahkan masyarakat.

BNPT bersama Kepolisian belum dapat melakukan tugasnya untuk penanggulangan terorisme secara komprehensif dikarenakan perangkat hukum yang ada pada saat ini belum mengatur hal tersebut.

Secara umum konsep penanggulangan berarti mencakup aspek pencegahan yang meliputi mitigasi, kontijensi dan kontra radikalisasi, penindakan atau tanggap darurat ketika aksi teror dilakukan dan rehabilitasi baik de-radikalisasi kepada para pelaku terorisme agar tidak muncul kembali hal serupa di masa yang akan datang.

Rehabilitasi pun perlu dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik dan mental kejiwaan kepada korban dan keluarganya agar fungsi-fungsi sosial dalam kehidupan mereka kembali normal serta dapat melanjutkan kembali hidupnya dengan baik.

Sementara itu tindakan dan langkah-langkah kontra radikalisasi pun sangat diperlukan untuk dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) agar narapidana lain yang belum terpapar ideologi atau ajaran-ajaran radikal yang bermuara pada aksi terorisme dapat dicegah dan mengantisipasi munculnya bibit-bibit baru pelaku terorisme di masa yang akan datang.

Ideologi radikal ini layaknya penyakit menular yang dapat menjangkiti siapa saja yang melakukan kontak dengan individu-individu yang sudah lebih dahulu menganut paham tersebut. Tengok saja para terduga pelaku aksi teror bom bunuh diri di 3 Gereja di Surabaya, Rusunawa Wonocolo di Sidoarjo dan Mapolrestabes Surabaya disinyalir mereka merupakan satu keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak-anaknya.

Lain lagi jika kita memperhatikan para napiter maupun terduga teroris di daerah lain mereka "terjangkit/tertular" paham radikal melalui media sosial dan media daring lainnya. Maka dari itu, revisi Undang-undang penanggulangan terorisme yang akan disahkan harus pula mengatur mengenai pemantauan aktivitas di media daring sebagai upaya pencegahan, salah satunya ujaran kebencian (hate speech) dan disertai ajakan-ajakan untuk melakukan aksi-aksi radikal dan teror atau telah memenuhi beberapa unsur yang mengindikasikan akan muncul atau dilakukannya sebuah aksi radikal maupun teror.

Namun demikian, meskipun aturan perundang-undangan saat ini belum mengatur hal-hal yang disebutkan di atas, kita perlu mengapresiasi kinerja Kepolisian bersama BNPT dan berbagai lembaga terkait dalam penindakan aksi teror yang berlangsung sepekan belakangan ini.

Hal ini dapat kita lihat dengan penggerebekan terduga pelaku teror di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo dan hanya berselang beberapa jam saja dari peristiwa tersebut, Polda Jawa Timur melakukan penggerebekan terduga teroris di Puri Maharani blok A4/11 Masangan Wetan, Sukodono, Sidoarjo yang disinyalir merupakan bagian dari jaringan terduga pelaku aksi teror di 3 Gereja di Surabaya dan pengeboman di Mapolrestabes Surabaya.

Oleh karena itu, patut kiranya kita memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada Kepolisian untuk dapat segera mengungkap dalang dari peristiwa berdarah yang telah melampaui nilai-nilai kemanusiaan ini.

Di sisi lain, momentum ini perlu kita manfaatkan untuk meningkatkan semangat persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara seraya meningkatkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama di negara yang kita cintai ini. Para pelaku teror dengan kedok Agama bertujuan untuk menciptakan keresahan di masyarakat dan mengadu domba para penganut Agama dan kepercayaan padahal sesungguhnya para pelaku teror tersebut tidak beragama karena tidak ada satupun Agama yang mengajarkan kekerasan dan menganjurkan untuk membunuh sesama manusia.

Justru sebaliknya, semua Agama lebih banyak mengajarkan mengenai cinta dan kasih sayang dan menganjurkan untuk saling membantu dan saling mengasihi. Dengan adanya kejadian ini, jangan beri ruang untuk mereka dengan memberikan respon-respon yang mereka harapkan muncul dari aksi yang telah dilakukan.

Mereka ingin kita merasa takut dan mereka ingin kita terpecah belah, STOP penyebaran foto dan video aksi teror yang terjadi maupun para korban dan terduga pelaku teror, karena hal tersebut hanya akan menambah kepanikan dan kecemasan di tengah-tengah masyarakat.

Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat seyogyanya tetaplah bersikap tenang, ciptakan suasana yang harmonis dan saling memperkuat satu sama lain, mari kita ciptakan kedamaian dengan menyampaikan pesan-pesan yang mendamaikan, dan tidak memperkeruh suasana dengan ikut serta dalam menyebarkan isu-isu yang belum dapat diakui kebenarannya.

Janganlah mudah terhasut dengan berbagai informasi yang beredar saat ini dan tetap junjung erat persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang cinta damai.*

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Lancang Kuning Pekanbaru