Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

BNPT Terjepit Dana dan Persahabatan Eks Napi
Oleh : Redaksi
Sabtu | 12-05-2018 | 17:16 WIB
ilustrasi-teroris1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi kelompok terorisme. (Foto: Thinkstock/Zabelin).

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Program deradikalisasi pemerintah jadi sorotan usai kerusuhan di Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat tengah pekan ini. Deradikalisasi ini disorot karena dinilai hanya menitikberatkan pada penanggulangan ideologi dan ekonomi kepada mereka yang mantan teroris.

Dua hal itu disebut pengamat tak cukup, sebab faktor terkuat jejaring terorisme adalah persaudaraan dan bukan hanya soal ideologi maupun ekonomi semata.

Hal ini dinyatakan napi kasus terorisme Ali Fauzi. Meski mengapresiasi program milik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dilakukan sejak 2011 itu, Ali menilai BNPT sedikit absen dalam hal penanganan faktor terkuatnya, yakni persaudaraan antarteroris di dalam kelompok mereka.

"Tentu akar terorisme tidak tunggal, bahkan saling berkaitan. Ada ideologi, ekonomi, tapi kecil. Dari sekian akar-akar yang paling kuat bersumber dari friendship, persahabatan. Saya sepakat 90 persen orang bergabung ke teroris karena faktor sahabat," ucap Ali saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (11/5).

Jika ingin menghilangkan virus terorisme yang ditularkan lewat pertemanan, maka BNPT juga harus melakukan pendekatan secara pertemanan.

Ali menyampaikan BNPT seharusnya bisa melakukan pendampingan sebagai teman kepada para napi terorisme, khususnya saat yang bersangkutan bebas dan kembali ke masyarakat.

Ali berujar hari-hari kebebasan tersebut menjadi momen yang sangat rentan karena setelah menjalani hukuman bertahun-tahun, eks napi teroris akan berhadapan dengan stigma masyarakat dan kondisi kehidupan yang belum stabil.

Hal ini terjadi kepada beberapa eks napi teroris. Misalnya Afif, pelaku teror bom Sarinah, Jakarta, pada 14 Januari 2016. Dia adalah eks napi kasus latihan para militer di Jantho, Aceh.

Atau contohnya lagi adalah Juhanda, pelaku bom buku tahun 2011. Divonis penjara 3,5 tahun pada 2012, ia beraksi kembali dengan melakukan teror bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, 14 September 2016.

Berkaca pada kedua eks napi itu, Ali menambahkan, bahwa mereka sangat rawan kembali ke jejaring teroris mengingat kondisi psikologi yang masih labil dan di tengah perekonomian yang belum tertata. Eks napi akan jadi sasaran empuk oleh kawan lama untuk mengajak kembali bergabung.

"Potensinya cukup besar (kembali ke terorisme), maka pentingnya pendampingan tadi. Sudah bertahun-tahun ditahan, dihukum. Keluar bingung cari kerja, melihat ekonomi belum tertata, jika tidak ada pendampingan, nanti kelompok lama mendekat kembali," Ali menjelaskan.

BNPT Belum Optimal

Sementara saat ini pendampingan dari BNPT dalam rangka menjaga eks napi teroris tak kambuh lagi, dirasa belum optimal.

Ali menyebut BNPT biasanya mengantar eks napi teroris ke keluarga lalu berkunjung beberapa kali sebagai pendampingan. Namun hal ini tak dilakukan intensif mengingat anggaran BNPT yang begitu mepet.

Dalam risalah Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan BNPT 13 April 2016, terungkap badan ini hanya mendapat kucuran dana Rp331,9 miliar pada 2016. Lalu mendapat tambahan Belanja Prioritas sebesar Rp200 miliar lagi berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor: S-814/MK.02/2015.

Padahal saat itu, dalam risalah RDP Komisi III DPR RI dengan BNPT 29 Januari 2015, BNPT mengurusi lebih dari 1.000 napi teroris.

Saat itu, sebanyak 95 orang masih menjalani proses persidangan, 366 orang dalam penyelidikan, 224 orang ada di dalam penjara, dan 680 orang lainnya sudah ada di masyarakat alias bebas.

Ali menyebut hal ini membuat BNPT dalam posisi sulit untuk menjadi teman atau ayah dari para eks napi teroris.

"Saya melihat minimnya budgeting di BNPT yang membuat tidak bisa mengayahi para mantan napi teroris di seluruh Indonesia," ungkapnya.

Belum Tersentuh Deradikalisme

Sebanyak 155 tahanan dan napi terorisme di Rutan Mako Brimob terlibat penyerangan dan penyanderaan. Enam orang tewas dalam kejadian itu dengan lima di antaranya polisi, dan satu napi.

Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius mengaku para tahanan dan napi kasus terorisme itu belum tersentuh program deradikalisasi. Suhardi beralasan, BNPT masih dalam proses pemetaan sebelum menerapkan program deradikalisasi kepada mereka, baik yang masih menjalani proses hukum ataupun terpidana.

"Kalau di Mako Brimob ini belum ada program deradikalisasi. Karena nanti akan dipetakan dulu, baru disebar ke lapas-lapas. Nah, di situ baru kami (BNPT) masuk," kata Suhardi di Istana Bogor, Kamis (10/5).

Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris pernah menjelaskan kepada CNNIndonesia.com bahwa deradikalisasi dilakukan dalam empat tahap, yaitu identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi.

BNPT melakukan pemetaan terkait aktivitas, relasi, lingkungan, dan latar belakang para tahanan teroris. Lalu BNPT melakukan pendampingan, pembinaan, baik saat mereka menjalani hukuman di penjara maupun setelah bebas.

Hal berikutnya, BNPT juga membantu perbaikan ekonomi napi terorisme yang sudah bebas. Perekonomian eks napi teroris itu dilakukan dengan memberi fasilitas pekerjaan dan kewirausahaan.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Dardani