Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Daya Tawar Lemah, Isu 'Usang' Buruh Pun Didendangkan
Oleh : Redaksi
Selasa | 01-05-2018 | 19:52 WIB
aksi-buruh.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Aksi peringatan Hari Buruh Internasional di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Senin (1/5). (Sumber foto: ANTARA)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Peringatan Hari Buruh Internasional 2018 kembali mengusung isu-isu 'usang' yang hingga kini belum bisa terpenuhi. Padahal, perundangan sudah mengaturnya. Pengawasan Pemerintah yang kurang dan daya tawar serikat pekerja yang melemah jadi penyebabnya.

Dua isu utama yang diangkat dalam aksi buruh tiap tahun ialah pekerja alih daya atau outsourcing dan upah murah. Isu-isu tersebut diusung oleh berbagai elemen buruh. Namun, tuntutan para buruh itu tak pernah terpenuhi sesuai harapan.

Pengamat perburuhan dari Universitas Borobudur Darwati mengatakan bahwa kedua isu itu masih terus digaungkan oleh kelompok buruh karena masih banyak yang belum bisa mencukupi kehidupan sehari-harinya.

"Mereka tetap melakukan (tuntutan) itu karena pengawasan yang diatur Pemerintah untuk melindungi hak buruh belum berjalan sebagaimana mestinya," katanya, Senin (30/4).

Ia melihat ada beberapa faktor yang menjadikan isu itu belum terkelola dengan baik. Pertama, pemerintah dinilai belum mampu mengawasi penerapan aturan ketenagakerjaan.

Misalnya, regulasi soal upah minimum di seluruh Indonesia yang diatur dalam Permanakertrans No 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Baginya, peraturan itu hanya 'jaring pengaman' bagi buruh yang belum menikah dan bekerja di bawah usia kerja setahun.

Setelah lewat periode itu, buruh seharusnya bisa melakukan negosiasi gaji dengan perusahaan. Hal itu diiringi dengan penilaian kinerja, produktivitas.

Namun, Darwati menilai realisasi di lapangan berbeda. Masih banyak buruh, katanya, yang telah melewati masa kerja satu tahun yang belum atau tak dapat bernegoisasi kenaikan upah dan masih menerima gaji sebesar upah minimum.

"Jadi ini sebenarnya pemerintah sudah gagal buat mengawasi, dan ini terlihat masih banyak buruh yang mengalami, yang sudah nikah dan berkeluarga tetap gajinya," cetus dia.

Senada dengan kasus pekerja alih daya. Darwati menilai pemerintah tak dapat mengawasi dengan baik pelaksanaan regulasi dalam UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Aturan ini memungkinkan perusahaan untuk mengangkat pegawai alih daya menjadi karyawan tetap asalkan jenis atau sifat pekerjaan itu bersifat tetap.

"Ada dua kemungkinan, apabila pekerjaan itu bersifat tetap, maka perusaahan outsourcing harus memperkerjakan dengan status [pegawai] tetap. Selain itu, jika sifat pekerjaannya tetap meski diserahkan dipekerjakan ke perusahaan lainnya, maka karyawannya harus berstatus tetap juga," terangnya.

Ditambahkannya, pengawasan Pemerintah seharusnya juga bisa dilaksanakan dengan baik karena ada UU Pengawasan Perburuhan. "[Isu-isu] itu enggak perlu dituntut kalau Pemerintah mau ngawasin," imbuh dia.

Menjaga Harga Stabil

Darwati menilai bahwa angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang tercantum dalam penerapan Upah Minimum di tiap provinsi/kabupaten sudah pantas.

Ia mengatakan hal itu sebagai strategi pemerintah untuk menjaga iklim investasi dengan para pengusaha tetap berjalan baik agar tak meninggalkan investasi di Indonesia.

"Sebetulnya itu strategi biar pemerintah menjaga gimana pengusaha berkembang, dan gimana tenaga kerja seneng," kata dia.

Akan tetapi, Darwati meminta pemerintah menjaga harga kebutuhan pokok di pasaran agar tak terlampau mahal. Hal itu sebagai upaya agar buruh tetap tercukupi kebutuhan sehari-harinya.

"Sama aja nih, kalau upah minimumnya tinggi, terus harga bahan pokok bakal tinggi. Nah ini gimana negara mengaturnya? Jangan sampai terlalu tinggi harga bahan pokok, peran negara ada di sini," tambah dia.

Daya Tawar Melemah

Terpisah, pengamat ketenagakerjaan Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai saat ini gerakan buruh di Indonesia mulai menurun secara intensitas pergerakan dan kuantitas kelompoknya.

Hal ini disebutnya membuat perjuangan buruh dipandang memiliki daya tawar yang tak kuat.

"Penurunan itu juga yang menjadi salah satu faktor mengapa tuntutan mereka seringkali tak didengar ya," kata Trubus, Jumat (30/4).

Berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja, jumlah serikat pekerja di perusahaan-perusahaan di Indonesia menurun signifikan.

Jumlah serikat pekerja pada 2017 ada sekitar 7.000 serikat. Sementara, pada 2007 Kemenaker mencatat serikat pekerja di seluruh Indonesia mencapai sekitar 14.000.

Selain itu, kata Trubus, para buruh saat ini kebanyakan tak percaya dan antipati terhadap perjuangan serikat pekerja sebagai sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan.

Menurutnya, serikat buruh tak memiliki taring di hadapan pengusaha dan pemerintah dan sering kali terkooptasi atau menjadi bagian yang tak langsung dari partai politik tertentu.

"Itu juga yang jadi sebab buruh malas buat simpati bergabung ke serikat buruh, di satu sisi sudah terkooptasi parpol, kalau hadepin pemerintah sering kali mentah perjuangannya," kata dia.

Oleh karena itu, Trubus berharap serikat buruh di Indonesia seyogyanya harus melakukan perubahan dan inovasi dalam berjuang menuntut kesejahteraan.

"Jadi mereka harus berani mengubah strategi perjuangan yang konvensional, buruh perjuangannya harus lebih berani dan tetap pada bukti dan data agar apa yang diharapkan menuai solusi," pungkasnya.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Udin