Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Urgensi Distribusi Surat Tanah ala Jokowi
Oleh : Redaksi
Sabtu | 21-04-2018 | 17:16 WIB
sertifikat-tanah2.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi Sertifikat Tanah Republik Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh Dodik Prasetyo

DISTRIBUSI sertifikat tanah untuk rakyat ini sebetulnya sudah menjadi program pemerintah sejak era Presiden Soeharto. Namun ketika itu program ini belum berjalan. Barulah pada era pemerintahan Presiden SBY program ini mulai direalisasikan kemudian dilanjutkan pada era kepemimpinan Presiden Jokowi.

Sebelumnya persoalan pembagian sertifikat ini belum menjadi isu yang banyak diperbincangkan oleh banyak pihak. Barulah setelah muncul pernyataan dari Amien Rais yang mengatakan program bagi-bagi sertifikat era Jokowi adalah suatu pengibulan dan ada pembiaran terhadap 74% penguasaan tanah oleh segelintir orang. Setelah adanya pernyataan tersebut perihal bagi-bagi sertifikat tanah ini mulai ramai dibicarakan. Kebijakan ini pun menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.

Terlepas dari pro kontra yang ada, dalam tulisan ini akan dibahas urgensi dari sertifikasi tanah yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Pertama, mensertifikatkan tanah rakyat adalah bagian dari upaya mencegah konflik agraria. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketidakjelasan status kepemilikan suatu lahan akan rentan sekali menimbulkan konflik.

Sehingga kehadiran Negara dalam hal ini tidak dapat dimaknai hanya membagikan selembar kertas sertifikat semata, tapi lebih dari itu, hal ini merupakan bagian dari ikhtiar menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dari adanya kemungkinan konflik agraria.

Kedua, sertifikasi tanah ini berkenaan dengan status hukum kepemilikaan rakyat atas suatu lahan. Hal ini bertujuan untuk memberikan rakyat posisi hukum yang sangat kuat, sehingga tidak mudah dipermainkan oleh mafia-mafia hukum ketika suatu saat ada tuntutan hukum atas tanah rakyat. Bukti kepemilikan yang sah dan berkekuatan hukum inilah yang sejatinya dapat melindungi rakyat dari perampasan tanah oleh mafia tanah yang mencoba kongkalingkong dengan oknum penegak hukum.

Ketiga, tanah rakyat yang sudah tersertifikasi Jokowi memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dalam kegiatan jual beli tanah, salah satu hal yang menjadi pertimbangan utama bagi pembeli adalah soaal kepastian kepemilikan tanah tersebut.

Salah satunya adalah terkait apakah tanah tersebut sudah bersertifikat atau belum. Selain juga untuk semakin memantapkan keyakinan pembeli, dengan tanah yang bersertifikat maka harga tanah rakyat meningkat tiga hingga enam kali lipat daripada saat tanah itu tidak ada sertifikat.

Keempat, dalam keadaan tertentu, tanah yang bersertifikat jika di butuhkan bisa diagunkan ke Bank menjadi penjamin untuk pinjaman modal. Hal ini akan sangat membantu rakyat yang ingin mendapat suntikan modal untuk mengembangkan usahanya. Sehingga rakyat tidak perlu meminjam modal kepada rentenir yang dikenal sering memberikan persyaratan bunga yang mencekik rakyat.

Alih-alih rakyat dapat mengembangkan usahanya, justru dengan meminjam uang kepada rentenir semakin menyulitkan usaha rakyat. Disinilah kehadiran negara diharapkan menjadi solusi bagi rakyat yang sedang mengembangkan usahanya.

Jika melihat asas manfaat yang diberikan dari program pemerintah yang ingin mewujudkan reformasi agraria tersebut, rasanya tidak ada lagi hal yang perlu diperdebatkan. Reformasi agraria yang dijalankan pemerintah adalah dalam rangka menertibkan tanah-tanah terlantar, baik tanah bersertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, yang sudah habis masa berlakunya atau tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya.

Saat ini Indonesia memiliki total luas daratan mencapai 190.456.900 hektar. Seluas 120.743.441,71 hektar atau setara 63,5% (2/3-nya) merupakan kawasan hutan.

Sementara kawasan yang bisa dimanfaatkan atau yang disebut sebagai kawasan budidaya hanya seluas 69.683.448,29 hektar atau 36,5%. Fakta tersebut dengan sendirinya sudah membantah klaim bahwa 74% lahan Indonesia dikuasai segelintir orang.

Program sertifikasi tanah memang belum seutuhnya mencerminkan keberhasilan program reforma agraria. Salah satu hal yang juga harus menjadi perhatian pemerintah adalah terkait redistribusi lahan. Sejauh ini realisasi redistribusi sebanyak 262.189 bidang sampai dengan tahun 2017.

Tergetnya di tahun 2018, akan ada 350.000 bidang yang di redistribusi. Kemudian di tahun 2019 target redistribusi akan menjadi 1,5 juta bidang, yang sumbernya sebagian besar berasal dari hasil inventarisasi dan verifikasi pengusahaan tanah dalam kawasan hutan.

Program pembagian sertifikat sekali lagi tentu saja belum cukup efektif untuk dapat dikatakan sebagai reforma agraria, namun perlu diimbangi dengan redistribusi tanah dan penyediaan akses bagi masyarakat khususnya subyek reforma agraria berupa penyediaan sarana prasarana berupa infrastruktur, pendampingan, pasar, permodalan dan teknologi.

Meski realisasi reforma agraria yang dijalankan oleh pemerintah Jokowi ini belum sempurna, namun tidak berarti kita boleh memberikan justifikasi yang negatif terhadap upaya yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Pernyataan salah seorang tokoh yang menyatakan sertifikasi tanah adalah pengibulan, saya kira tidak mencerminkan semangat persatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Pernyataan yang tendensius tersebut hanya membuat gaduh saja dan tidak menghadirkan solusi yang kongkrit bagi masyarakat. Pemerintah Jokowi masih memiliki waktu sekitar satu tahun lagi untuk melakukan percepatan program sertifikasi tanah, berdasarkan urgensi yang dijelaskan pada pemaparan sebelumnya program sertifikasi tanah ini layak untuk didukung.*

Penulis adalah Kontributor Lembaga Strategis Indonesia (LSISI)