Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Masih Ada TKI yang Dipancung, DPR Nilai Lobi Pemerintah Terhadap TKI Masih Lemah
Oleh : Irawan
Selasa | 20-03-2018 | 15:38 WIB
fahri_hamzah24.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dieksekusi mati di Arab Saudi kembali terjadi. Muhammad Zaini Misrin asal Bangkalan, Jawa Timur, telah dieksekusi pada 18 Maret 2018, dengan tuduhan melakukan pembunuhan terhadap majikannya yang bernama Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy.

Menanggapi peristiwa tersebut, Wakil Ketua DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kokesra), Fahri Hamzah menjawab wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (20/3/2018), mengatakan bahwa kejadian ini sangat ironis.

Apalagi, lanjut Ketua Tim Pengawasan Tenaga Kerja Indonesia (Timwas TKI) DPR RI itu, ditengah-tengah berlakunya Undang-Undang nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang sedang giat-giatnya disosialisasikan oleh DPR.

"Jangan sampai masyarakat menjadi pesimis dengan perlindungan tenaga kerja kita, yang seolah-olah (UU PPMI) nggak ada gunanya. Ini harus dijadikan momentum untuk perlindungan," kata Fahri yang juga Ketua Timwas TKI dalam keterangannya.

Menjawab pertanyaan, apa pemerintah mengabai terjadinya peristiwa yang menimpa TKI itu, menurut Fahri hal tersebut suatu kegagalan komunikasi yang dilakukan pemerintah. Pemerintah harus segera membuat klarifikasi atas peristiwa tersebut.

"Kenapa gagal diplomasinya? Setahu saya, kalau dari awal memahami betul, mudah koq menjelaskannya. Sebab, kadang-kadang sumbernya karena kesalah pahaman. Dan banyak sekali kasus seperti ini, yang seharusnya bisa kita tangani," tambah politisi PKS itu lagi.

Penilaian Fahri, Pemerintah selama ini, tidak mampu menggerakan sumberdaya yang dimilikinya, sehingga posisi tawar bangsa Indonesia sangat lemah dalam hal berdiplomasi. Padahal yang sudah-sudah, pemeintah bisa menyelamatkan TKI yang tersandung masalah hukum di tempat kerjanya.

"Pemerintah harusnya bisa meminta kepada Pemerintah Arab Saudi untuk menunda eksekusi mati terhadap tenaga kerja kita. Apalagi, dalam iklim seperti sekarang harus bisa. Kalau tidak bisa, artinya kita yang lemah, jangan nyahin orang lain," pungkas Anggota DPR dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Kronologi kasus kematian Muhammad Zaini Misrin (53), buruh migran asal Indonesia yang baru saja dieksekusi mati di Arab Saudi, yang disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo.

Muhammad Zaini Masrin adalah buruh migran resmi di Arab Saudi yang berasal dari Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Zaini ditangkap oleh polisi Arab Saudi pada 2004 silam.

Proses hukum berjalan selama 4 tahun. Hingga vonis hukuman mati dijatuhkan pada 17 November 2008, Zaini mendapat tekanan dari aparat Saudi untuk membuat pengakuan pembunuhan itu. Meski begitu, selama menjalani proses hukum, Zaini berkali-kali membantah tuduhan itu, dan mengaku bahwa ia tidak melakukan pembunuhan terhadap majikannya.

Tak hanya itu, selama menjalani proses hukum, Zaini tidak diberikan akses kekonsuleraan kepada KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh, sehingga ia juga tidak mendapatkan akses bantuan hukum dan penerjemah yang imparsial. Padahal semua itu merupakan hal yang vital bagi siapapun yang tengah menjalani peradilan dengan ancaman hukuman maksimal, hukuman mati.

Pihak KJRI Jeddah mengaku baru mendapatkan akses kekonsuleran ke Zaini pada tahun 2009.

"Usai bertemu dengan utusan konsulat RI, barulah Zaini mengungkapkan pengakuan bahwa ia sebenarnya dipaksa dan ditekan untuk mengakui pembunuhan itu. Padahal menurut Zaini, ia tidak melakukan itu," ujar Wahyu.

Wahyu mengatakan, pihak yang melakukan pemaksaan dan tekanan kepada Zaini tak lain adalah penerjemah yang disediakan oleh kepolisian yang saat itu mendampingi proses interogasi. Namun, penerjemah itu tidak bersikap netral dan imparsial dalam melakukan tugasnya.

Ketika akses kekonsuleran telah didapat oleh pihak KJRI pada 2009, dua tahun kemudian, mulai pada 2011 hingga 2014, pemerintah Indonesia melakukan sejumlah proses diplomasi guna mengupayakan langkah-langkah hukum yang berpotensi untuk menunda hingga menangguhkan vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Arab Saudi kepada Zaini Misrin.

"Pihak KJRI memeriksa kasus ini dan mengajukan proses peninjauan kembali dan sidang banding dari tahun 2011 hingga 2014, dengan mengumpulkan bukti dan saksi-saksi baru yang meringankan," kata Wahyu.

Diplomasi upaya penundaan dan penangguhan vonis pun bahkan dilakukan hingga ke tataran tertinggi kepala negara, yakni dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al Saud, pada tahun 2015 di Riyadh dan 2017 di Jakarta.

Pada September 2017, Presiden Jokowi pun kembali melakukan upaya penangguhan vonis hukuman mati, dengan mengirimkan surat kepada Raja Salman.

"Terakhir sejak awal Maret 2018, Kementerian Luar Negeri RI masih aktif mengirimkan surat, bukti, dan keterangan saksi-saksi yang sekiranya mampu meringankan dan menangguhkan vonis hukuman mati tersebut. Tetapi, tampaknya pintu peradilan sudah ditutup dan kemudian vonis hukuman mati tetap dilaksanakan tanpa memberikan notifikasi kekonsuleran resmi kepada pihak RI," katanya.

Sejatinya, menurut hukum yang berlaku di Arab Saudi, eksekusi mati terhadap warga negara asing bisa tetap dilakukan tanpa memberitahu pihak pemerintah WN asing yang bersangkutan. Namun, berbagai organisasi HAM, termasuk di Indonesia, telah lama mengkritik kebijakan tersebut.

Wahyu mengatakan, berdasarkan penelusuran lembaganya, Zaini Misrin belum tentu bersalah dalam kasus pembunuhan terhadap majikannya di Saudi. Bahkan, Zaini mengatakan kalau dirinya dipaksa untuk mengakui jika dia membunuh majikannya.

Editor: Surya