Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Dianggap Masih Kurang Serius

Industri Digital Sulit Berkembang di Batam, Ini Penyebabnya
Oleh : Nando Sirait
Selasa | 13-03-2018 | 10:26 WIB
industri-digital.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi industri digital (Sumber foto: Bisnis Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Batam - Industri digital sulit berkembang di Batam, jika pemerintah tidak segera membenahi tiga persoalan utama yang berpotensi menjadi penghambat. Adapun ketiga persoalan itu adalah regulasi, akses permodalan dan infrastruktur digital.

"Aturan mengenai akses permodalan untuk industri digital belum mendapat dukungan dari pemerintah. Sedangkan jika berusaha mengajukan kepada perbankan, susah-susah gampang mendapatkannya," jelas Sekretaris Asosiasi Digital Entrepeneur Indonesia (ADEI) Kepri, Ammar Satria, di Batam Centre, Selasa (13/03/2018).

Di samping dukungan pemerintah belum terlihat, pembiayaan perbankan untuk pelaku di sektor industri kreatif, khususnya digital, masih sangat minim. Kendala yang menyebabkannya adalah mayoritas industri digital yang biasanya membuat perusahaan startup belum dianggap bankable oleh perbankan.

Perbankan memang punya banyak pertimbangan dalam membiayai perusahaan perintis seperti perusahaan startup. Hal seperti ini sangat disayangkan karena perlindungan terhadap ide perusahaan start up lewat konten pematenan hak cipta dalam Hak kekayaan Intelektual (HKI) telah lama digaungkan oleh pemerintah.

Dengan adanya HKI, pengusaha startup muda tidak perlu takut lagi idenya dibajak oleh pihak lain."Akses modal ini sulit. Karena orang yang punya banyak ide akan terganjal biaya operasionalnya," paparnya.

Kemudian, persoalan berikutnya adalah regulasi yang mengatur industri digital ini belum ada sama sekali. Menurut Ammar, regulasi yang berkaitan hanya UU ITE dan Peraturan Presiden (Perpres) 6/2015 yang pada kenyataannya tidak mengatur secara spesifik regulasi terkait industri digital.

Hal tersebut sangat disayangkan, karena industri lainnya seperti industri tekstil dilindungi keberadaanya lewat regulasi khusus seperti Peraturan Menteri Perindustrian 123/2010 tentang program revitalisasi dan penumbuhan industri melalui restrukturisasi mesin atau peralatan industri tekstil. Mudahnya peraturan tersebut membuat industri tekstil bisa berkembang dengan lebih baik.

Keberadaan regulasi menjadi sangat penting karena menjadi payung hukum bagi industri digital untuk mengembangkan usahanya. Selanjutnya adalah persoalan infrastruktur. Batam memang sudah memiliki infrastruktur yang lengkap karena merupakan hub digital Indonesia ke luar negeri.

Tenaga kerjanya sudah bagus karena Batam memiliki sejumlah Perguruan Tinggi, dan industri digital di Nongsa yang mendidik anak-anak muda untuk melek teknologi. Untuk infrastruktur ini, Ammar hanya meminta agar pemerintah benar-benar serius untuk mengembangkannya ke arah lebih baik lagi.

"Batam punya peluang, coba lihat berapa banyak ruko-ruko kosong sekarang, seandainya itu mampu dijadikan co-working space akan menghidupkan banyak start up baru yang akan berkontribusi terhadap perekonomian Batam," jelasnya lagi.

Ia yakin, dalam lima tahun ke depan, jika terus dibenahi maka industri digital akan menyumbang 20 persen dari perekonomian Batam. Satu lagi yang harus menjadi prioritas adalah perlindungan terhadap pengusaha start up lokal Batam.

Pemerintah ia minta jangan sampai melonggarkan peraturan mengenai ketentuan modal minimum bagi investor asing untuk investasi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, modal minimum yang dibutuhkan agar investor asing bisa masuk ke Indonesia adalah Rp100 miliar, namun hal tersebut tidak berlaku di wilayah yang menerapkan Izin Investasi 3 Jam (i23J).

Peraturan tersebut ia nilai dapat membantu pengusaha start up muda untuk bisa berkembang tanpa takut tersaingi oleh perusahaan-perusahaan digital asing yang notabene telah mapan, seperti dari Singapura.

"Saya tak mendukung sama sekali jika itu dikendorkan. Karena lebih baik peraturan yang ada mendukung berkembangnya perusahaan start up lokal," tuturnya.

Pada umumnya perusahaan, start up asing tidak melakukan hubungan bisnis secara langsung dengan perusahaan lokal. Mereka hanya menyewa. Ammar memberi contoh, perusahaan Singapura yang bergerak di bidang outsourcing digital yang berfokus kepada anak magang.

"Mereka hanya menyewa saja, tidak ada hubungan bisnis di situ," katanya.

Berbeda dengan Ammar, Wakil Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri, Tjaw Hoeing, mengatakan peraturan modal minimum investasi itu lebih baik dilonggarkan saja. Penyebabnya adalah banyak perusahaan digital dari Singapura yang ingin masuk ke Batam terganjal peraturan tersebut.

"Banyak yang mau masuk ke Batam, cuma jadi susah karena terganjal dari segi aturan, di mana minimal investasi harus Rp100 miliar untuk murni investasi asing," jelasnya.

Ia mengatakan, perusahaan-perusahaan digital asing tersebut tidak memiliki modal sebanyak itu karena banyak yang bersifat Usaha Kecil Menengah (UKM). Modalnya tak besar tapi punya peluang untuk memajukan ekonomi Batam.

"Akhirnya tak ada yang mau, karena modal yang dibutuhkan terlalu besar," jelasnya.

Peraturan tersebut juga berbunyi bahwa investor asing bisa masuk dengan modal dibawah Rp100 miliar dan di atas Rp50 miliar, tapi dengan syarat harus mencari kemitraan dengan perusahaan lokal.

"Tidak mudah mencari mitra lokal yang berkualifikasi. Itu tak gampang," jelasnya.

Ia berharap agar pemerintah bisa meninjau ulang peraturan tersebut karena tingginya minat perusahaan digital asing untuk masuk ke Batam.

Editor: Udin