Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemakaian Cadar Adalah Hak Asasi Manusia
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 09-03-2018 | 16:14 WIB
Natalius42.jpg Honda-Batam
Natalius Pigai. (Foto: Istimewa)

Oleh: Natalius Pigai

Kasus pelarangan pemakaian cadar terhadap seorang mahasiswi yang terjadi Universitas Islam Negeri Yogyakarta mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Sangat wajar jika berbagai kalangan menentang peraturan yang beraroma pengekangan kebebasan ekspresi agama Islam tersebut karena tidak hanya menyangkut persoalan relasi antara sekolah dan siswanya (forum eksternum) tetapi juga menyangkut pribadi dan fundamental soal keyakinan (forum Internum).

Ironisnya, pelarangan cadar tersebut dilakukan oleh universitas Islam yang justru harus dijadikan sebagai pusat persemaian aqidah Islamiah dan tempat pengembangan pengetahuan, ketrampilan dan Budi pekerti bernafaskan Islam.

Kebijakan Rektor UIN tidak dapat dibenarkan. Tidak boleh ada dunia pendidikan yang melarang siswinya bercadar, berhijab bahkan berburqa. Apalagi di negara Indonesia dengan statusnya sebagai negara yang jumlah penduduk islam terbesar di dunia.

Sesuai dengan hukum hak asasi Manusia Pemerintah tidak dapat melarang sesutu yang bersifat keyakinan, dan Cadar adalah inherent dan tidak terpisahkan dari simbol agama Islam. Karena itu jika negara melarang seseorang memakai atribut agamanya di sekolah, maka dalam persepektif HAM tidak ada alasan bagi untuk melarangnya.

Sekali lagi tidak boleh ada pelarangan cadar karena itu bagian dari hak asasi manusia seseorang untuk menjalankan agama, mengekspresikan atribut dan simbol-simbol agamanya.

Ini negara Indonesia, negara Pancasila dan Bhineka tunggal Ika sebagai adagium universalitas bukan partikularitas.

Sejatinya negara menampung dan menghormati penghayatan, ekspresi nilai-nilai spiritualitas, ekspresi agama dan kebudayaan Islam.

Negara justru harus berbangga dengan umat Islam. Meskipun penduduk mayoritas Islam, namun mampu menunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam mampu membangun nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian sebagaimana telah dibuktikan selama ini.

Pemerintah saat ini lebih cenderung membangun framing negatif dan menjustifikasi padangan islamophobia yang telah dibangun oleh dunia barat dengan memila- mila melalui sebutan Islam moderat dan Islam radikal. Padahal semua orang ketahui bahwa Islam itu agama tunggal yang bersumber dari Alquran, maka tidak ada moderat dan radikal sebagaimana framing yang dibangun Eropa dan Amerika.

Pemerintah tersandera dengan framing ini karena tidak punya sikap dan keberpihakan kepada bangsanya dan agamanya sebagaimana ditunjukkan oleh Erdogan Presiden Turki.

Dengan pelarangan penggunaan cadar ini makin jelas dan terang benderang bahwa Pemerintah saat ini mulai menumpas dan memberangus bahkan mengkerdilkan agama Islam. Berbagai kebijakan pemeintah termasuk pemberangusan ormas Islam melalui hadirnya Perpu ormas, penangkapan dan penganiaan terhadap ulama, pembunuhan terhadap tokoh agama Islam serta berbagai kebijakan pemrintah ini menunjukkan ada indikasi adanya dendam kesumat dan kebencian terhadap umat Islam. Karena itu kita harus menentang kezaliman penguasa. Umat Islam harus memberi hukuman yang setimpal baik sanksi secara politik, sosial juga hukum.

Di negeri ini tidak ada Islam intoleransi, tidak ada Islam radikal, tidak ada Islam teroris, yang ada adalah cara pandang pemimpin yang intoleransi, radikal dan teror terhadap umat Islam, menciptakan rasa teror (ngeri), pencipta phobia dan membangun citra negatif bagi umat Islam. Sangat naif juga adalah kebijakan-kebijakan Pemerintah mengandung unsur kekerasan non fisik dan kejahatan verbal kepada umat islam dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang beragama Islam.

Oleh karena itu, Pemerintah harus menghentikan berbagai usaha pengekangan dan pembatasan penggunaan simbol agama termasuk cadar, jilbab, hijab, burga karena melanggar hak asasi manusia. (*)

Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan/Komisioner Komnas HAM 2012-2017.