Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Didesak Galang Koalisi 'Save Palestina' dan Tolak Keputusan Presiden Trump
Oleh : Redaksi
Senin | 11-12-2017 | 08:38 WIB
Jokowi-bertemu-presiden-Palestina.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Presiden Palestina Mahmoud Abbas bertemu Presiden Jokowi di Jakarta, Maret 2016. Pemerintah Indonesia merasa wajib mendukung kepentingan Palestina karena 'utang pengakuan kemerdekaan' pada tahun 1945 (Sumber foto: BBC)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, pekan ini akan melakukan perjalanan diplomatik ke tiga negara di Timur Tengah dan Eropa, sebagai upaya mendorong Amerika Serikat (AS) membatalkan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Awal pekan ini Retno dijadwalkan bertemu perwakilan Yordania di Amman, kota yang berjarak sekitar empat jam perjalanan darat dari Yerusalem.

Pada 13 Desember, Retno bersama delegasi yang dipimpin Presiden Joko Widodo direncanakan berembuk dengan seluruh anggota Organisasi Negara Islam (OKI) di Istanbul, Turki.

Konferensi itu digelar khusus untuk menanggapi kebijakan AS.

"Dari Istanbul saya akan melanjutkan perjalanan ke Brussels bertemu menteri luar negeri Uni Eropa untuk memperkokoh dukungan negara barat agar tidak mengikuti keputusan AS," kata Retno, Minggu (10/12)

Dalam berbagai pertemuan diplomatik itu, peran terbesar apa yang sebenarnya dapat dilakukan pemerintah terkait isu Yerusalem tersebut?

Koalisi baru

Pengamat politik internasional, Hikmahanto Juwana, menyebut pemerintah sepatutnya menginisiasi koalisi baru yang berisi negara pendukung kemerdekaan Palestina.

Ia mengatakan Indonesia dapat menjajaki dukungan Inggris, Perancis, Rusia, dan Cina karena negara-negara itu juga mengecam kebijakan AS.

Koalisi itu, menurut Hikmahanto, dapat bersuara lebih lantang di tingkat global terkait isu Yerusalem dibandingkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang beranggotakan AS.

"Kalau resolusi DK PBB tidak mungkin berperan karena ada AS dan mereka punya hak veto. Resolusi Majelis Umum bisa saja, tapi seberapa efektif resolusi itu," kata Hikmahanto.

"Kalau cuma mengecam tidak akan ada solusi. Indonesia harus bisa meyakinkan, pengakuan Palestina sebagai negara merdeka bisa meredam gejolak perdamaian dunia," ujarnya menambahkan.

Hikmahanto menuturkan, AS pernah membentuk koalisi di luar PBB pada 2003 ketika mereka berencana menginvansi Irak. Saat itu tiga dari lima anggota tetap DK PBB tidak menyetujui rencana AS.

Bagaimanapun, Jumat pekan lalu 14 dari total 15 anggota DK PBB mengkritik keputusan Presiden AS Donald Trump soal Yerusalem. Mereka menyebut AS telah melanggar hukum internasional dan tidak mematuhi resolusi yang pernah diterbitkan PBB.

DK PBB setidaknya pernah mengeluarkan sembilan resolusi soal isu Israel-Palestina. Badan itu menyebut AS melangkahi resolusi tersebut.

Agustus 1980, DK PBB mengeluarkan resolusi yang melarang Israel menerbitkan undang-undang untuk mengubah status Yerusalem. PBB meminta semua negara menutup kantor perwakilan kota tersebut.

Resolusi terakhir DK PBB ke luar pada 23 Desember 2016, berisi kecaman pada Israel yang membangun pemukan di Yerusalem. Mereka menyebut program Israel itu menghambat perdamaian dengan Palestina.

Peran bukan pengaruh

Pengajar hubungan internasional di Universitas Indonesia, Ali Wibisono, menyebut sulit mengukur pengaruh suatu negara dalam persoalan antarnegara, termasuk Indonesia pada isu Yerusalem atau konflik Israel-Palestina.

"Perannya mungkin ada, tapi pengaruhnya belum tentu ada," ujarnya.

Menurut Ali, pemerintah Indonesia merasa wajib mendukung kepentingan Palestina karena 'utang pengakuan kemerdekaan' pada tahun 1945.

"Palestina adalah salah satu entitas internasional yang mengakui kemerdekaan Indonesia sehingga kita punya utang seumur hidup untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina," kata dia.

"Itulah alasannya, di forum apa pun atau proses perdamaian Israel-Palestina, apapun peluangnya, Indonesia ingin ikut berperan," tutur Ali.

Sumber: BBC
Editor: Udin