Perkara Kepemilikan Saham PT BMS (BCC Hotel)

Ahli Pidana Tegaskan Perbuatan Tjipta Tak Memenuhi Unsur Penipuan dan Penggelapan
Oleh : Gokli
Selasa | 14-08-2018 | 08:08 WIB
khaerul-huda.jpg
Ahli Pidana, Dr Khaerul Huda saat memberikan pendapat di PN Batam. (Ist)

BATAMTODAY.COM, Batam - Tindak pidana penggelapan dan penipuan yang didakwakan terhadap Tjipta Fudjiarta di Pengadilan Negeri (PN) Batam, masih terus bergulir. Banyak saksi yang sudah diperiksa, termasuk memintai pendapat ahli pidana.

Dalam persidangan Senin (13/8/2018) siang, jaksa penuntut umum (JPU) Filpan FD Laia dan rekan kembali menghadirkan ahli pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr Khaerul Huda. Ini, ahli pidana kedua setelah sebelumnya majelis hakim Tumpal Sagala, Taufik Nainggolan dan Yona Lamerosa mendengar pendapat Prof Dr Mudzakir dari Universitas Indonesia.

Dikatakan ahli pidana Dr Kaerul Huda, unsur pidana penipuan dan penggelapan yang didakwaan JPU terhadap Tjipta Fudjiarta sama sekali tidak terpenuhi. Pasalnya, alat bukti yang dimiliki terdakwa, berupa akta penjualan saham merupakan alat bukti yang otentik, meski korban Conti Chandra mengklaim bahwa dana penjualan saham PT Bagun Megah Semesta (BMS) belum dibayar.

"Di saat orang menjual barang, katakanlah saham, otomatis penjual akan menyerahkan kepada pembeli. Menjadi persoalan, apa yang mendorong terjadinya jual beli saham, apakah didorong penggunaan nama palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Ada tidak unsur pidana itu? Kalau memang tidak ada, itu hanya peristiwa perdata semata," jelas ahli.

Dikatakan ahli, dalam suatu peristiwa pinjam meminjam, seorang yang dimungkinkan tertipu adalah pemberi dana atau pemberi pinjaman, tidak mungkin yang meminjam atau menerima dana tertipu.

"Tidak mungkin yang menerima uang tertipu, pastinya yang memberi uang," ujarnya.

Dalam perkara ini, ahli menilai bukti akta pembelian saham yang dimiliki terdakwa sudah kuat. Meski belakangan hari, penjual saham atau Conti Chandra mengatakan belum menerima hasil penjualan saham tersebut.

"Dalam akta kan sudah jelas dibayar lunas. Itu bukti yang kuat, karena tidak mungkin penjual mau teken akta kalau belum lunas. Kalau memang itu terjadi, salahnya dia. Pun itu harus juga dibuktikan dengan bukti otentik yang menyatakan belum ada pembayaran. Kalau memang itu tidak ada, gimana membuktikan," katanya.

Mengenai adanya peristiwa awal pinjam-meminjam uang yang kemudian beralih kepada jual beli, kata Ahli, sepenjang kedua belah pihak menyepakatai tidak ada masalah.

"Misalnya, awalnya pinjam meminjam uang, kemudian dikonfersi menjadi jual beli yang telah dituangkan dalam akta dan diteken kedua belah pihak. Itu sudah tidak ada masalah lagi. Karena kebenaran materil itu adalah kebenaran yang bisa dikuatkan dengan alat bukti," terangnya.

Lanjut Ahli, dari segi hukum pidana, akta itu tidak bisa ditarik ke ranah pidana, karena akta itu dibuat di depan pejabat. Kalau dalam akta itu tertera dibayar lunas dan ditanda tangani penjual dan pembeli, artinya memang sudah dibayar lunas.

"Setelah adanya akta jual beli yang sudah diteken kedua belah pihak, apapun yang dilakukan pembeli sebagai pemilik tidak ada lagi urusannya dengan pidana, yang mungkin hanya keperdataan saja, jika misalnya dilakukan penjualan aset atau pengalihan aset," bebernya.

Mengakhiri pendapatnya, Khaerul Huda menegaskan terdakwa Tjipta Fudjiarta tidak bisa diseret ke renah pidana penipuan dan penggelapan, karena memang dia memiliki bukti adanya jual beli saham yang dituangkan dalam akta yang dibuat pejabat.

Usai mendengar pendapat Ahli Pidana, majelis kembali menunda sidang sampai Jumat (24/8/2018) dengan agenda mendengar keterangan saksi-saksi lainnya. Sementara terdakwa didampingi penasehat hukum Hendi Devitra dan Sabri diminta agar kembali menghadirkan terdakwa pada sidang berikutnya.

Editor: Surya