Anak Usia Sekolah di Kepri Banyak yang Belum Menikmati Pendidikan
Oleh : Harjo
Selasa | 19-12-2017 | 10:26 WIB
FGD-JPPI.jpg
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Thamrin Kasman. (Foto: Harjo)

BATAMTODAY.COM, Tanjunguban - Berdasarkan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016, sebanyak 77.186 anak usia sekolah 7-18 tahun di Provinsi Kepri, tidak bisa menikmati layanan pendidikan dasar dan menengah.

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ahmad Taufik mengatakan, berdasarkan data tersebut, anak usia sekolah yang tidak bisa menikmati layanan pendidikan dasar dan menengah di Kepri ini mencapai 17,6 persen. Dari 77.186 anak tidak bisa menikmati layanan pendidikan dasar dan menengah tersebut sebanyak 34.930 anak usia sekolah dasar (SD), 17.460 anak usia sekolah menengah pertama (SMP), dan 24.795 anak usia sekolah menengah atas (SMA).

"Sedangkan anak yang bisa menikmati layanan pendidikan dasar dan menengah sebanyak 360.745 anak, terdiri dari 221.910 anak tingkat SD, 79.005 tingkat SMP, 34.636 tingkat SMA/MA, dan 25.194 anak tingkat SMK," kata Ahmad Taufik, pada Focus Group Discussion (FGD) 'Mendorong Implementasi Kebijakan dan Anggaran, Akaselerasi Program Wajib Belajar 12 Tahun di Daerah', yang diadakan JPPI, di Community Center Gedung Nasional Tanjunguban, Bintan Utara, Senin (18/12/2017).

Sementara untuk Kabupaten Bintan saja, kata Ahmad Taufik, sebanyak 11.190 anak atau 27,2 persen tidak bisa menikmati layanan pendidikan dasar dan menengah. Terdiri dari 5.824 usia SD, 3.366 anak usia SMP, dan 2.001 sekolah menengah atas.

"Anak yang menikmati layanan pendidikan sebanyak 29.917 anak, terbagi pada 18.341 anak tingkat SD, 6.772 anak tingkat SMP, 3.185 anak tingkat SMA/MA, dan 1.619 anak tingkat SMK," jelas Ahmad.

Masih tingginya anak usia sekolah yang tidak menikmati layanan pendidikan di Kepri, menurut Ahmad Taufik diantaranya disebabkan tidak berjalannya akselerasi program wajib belajar 12 tahun di daerah. Untuk itu pihaknya mendorong diimplementasikannya kebijakan dan anggaran minimal 20 persen dari APBD.

"Perlu inovasi Pemerintah Daerah dengan Peraturan Daerah (Perda) agar wajib belajar 12 tahun, sampai anak lulus sekolah menengah, bukan hanya wajib belajar 9 tahun atau sampai anak lulus SMP," kata Ahmad.

Anggaran pendidikan di daerah, lanjutnya, selama ini dihabiskan untuk belanja tak langsung, yaitu menggaji guru dan tunjangan guru dan pegawai. "Mestinya sebagian untuk meningkatkan kompetensi guru, serta inovasi layanan pendidikan," tambahnya.

JPPI juga mendorong pemerataan guru, karena secara nasional Indonesia kelebihan guru, namun di daerah selalu mengeluhkan kekurangan guru. Ini disebabkan guru terkonsentrasi di pusat kota. Diberikannya tambahan dan tunjangan/insentif guru di daerah terpencil, terluar, perbatasan, tetap saja tidak membuat guru betah.

Pengamat pendidikan dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIPOL) Tanjungpinang, Endri Sanopaka mengatakan, berdasarkan riset pihaknya pada tahun 2007, anggaran pendidikan yang besarnya 20 persen lebih dari APBD dihabiskan untuk menggaji dan memberi tunjangan guru sebanyak 68 persen. Sedangkan untuk pelayanan pendidikan hanya 32 persen.

"Itu dari hasil riset kami tahun 2007. Menurut saya saat ini kurang lebih sama," kata Endri Sanopaka.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Thamrin Kasman mengatakan, banyaknya anak-anak usia sekolah yang tidak bisa menikmati layanan pendidikan dasar dan menengah merata di seluruh Indonesia.

"Saat ini angka partisipasinya baru mencapai 74 persen secara nasional," kata Kasman.

Secara nasional, lanjutnya, angka partisipasinya ditargetkan mencapai 93-97 persen pada tahun 2020.

Ia menjelaskan, kendala utama dalam meningkatkan angka partisipasi pada kurangnya koordinasi dan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Di mana daerah mengaku kebutuhan sarana prasarana tinggi, di sisi lain pendapatan asli daerah (PAD) tidak mencukupi untuk membangunnya, ditambah dengan dana transfer dana alokasi khusus (DAK) dari pusat juga tidak tercukupi.

"Dana bantuan operasional sekolah (BOS) sebanyak Rp45 triliun se-Indonesia juga belum mencukupi. Ini semua memerlukan sinergi antara Pemerintah Pusat dan daerah untuk mengatasi. Serta komitmen daerah untuk menuntaskan wajib belajar hingga jenjang SMA/MA/SMK," jelasnya.

Editor: Gokli