Kadin Indonesia Minta RUU Penyiaran Harus Visioner dan Jamin Industri TV Eksisting
Oleh : Romi Chandra
Kamis | 14-12-2017 | 18:15 WIB
Komprens-Kadi.jpg
Sarwoto Atmosutarno, mewakili Wakil Ketua Umum (WKU) Kadin Indonesia Bidang Telematika, Penyiaran dan Research saat press confrens di Radison Hotel (Foto: Romi Candra)

BATAMTODAY.COM, Batam - Kamar Dagang Indonesia (Kadin) yang sedang melaksanakan Rapat Pimpinan Nasinal (Rapimnas) di Batam saat ini, juga membahas perkembangan penggodokan RUU Penyiaran.

Sarwoto Atmosutarno, mewakili Wakil Ketua Umum (WKU) Kadin Indonesia Bidang Telematika, Penyiaran dan Research, meminta DPR RI dan Pemerintah dalam hal ini Kemkominfo dan KPI untuk memastikan Rancangan Undang Undang (RUU) Penyiaran menjadi visioner dan disiapkan dengan matang.

Untuk itu lanjutnya, perlu dibuat rencana strategis atau renstra penyiaran untuk 25 tahun ke depan.

"Selain itu, juga perlu dibuat blue print digital yang comprehensive. Antara lain, mampu mengatur tentang studi keekonomian, ASO, subsidi Set Top Box (8TB), standarisasi layanan dan teknologi yang dibuat," ujarnya dalam press confrens di Radison Hotel, Kamis (14/12/2017) siang.

Sementara itu, Ketua Komisi Tetap (Komtap) Kadin Indonesia Bidang Penyiaran TV dan Radio, David Fernando Audy, menegaskan, RUU Penyiaran harus memberikan kepastian hukum dan menjamin keberlangsungan kegiatan usaha (going concern) dari pelaku industri eksisting.

Dikatakan juga, DPR RI dan pemerintah harus mempertimbangkan investasi besar dari lembaga penyiaran TV saat ini. Apalagi yang sudah bersiaran selama belasan bahkan puluhan tahun.

"Lembaga penyiaran TV, juga membuka lapangan kerja bagi puluhan ribu tenaga kerja lokal dan membuka peluang bagi vendor dan industri pendukung yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 100.000," paparnya.

Industri TV saat ini tambahnya, juga menyumbang pendapatan pajak PPN dan PPh yang nilainya mencapai Rp3-4 triliun setiap tahun. Karena itu, Kadin Indonesia berharap agar migrasi dari TV analog ke TV digital dilakukan secara bertahap dan bukan secara disruptif, sesuai dengan kesiapan masyarakat Indonesia.

Selain itu, Kadin Indonesia juga berharap Pemerintah dan DPR memperhatikan skala ekonomi dengan jumlah TV yang sudah terlalu banyak, yaitu sekitar 16 W saat ini, agar tidak ditambah lagi.

"Hal ini penting agar industri TV di Indonesia, yang merupakan kepemilikan lokal, bukan asing, bisa tetap sehat dan mampu bersaing dengan pemain media asing. Sebenarnya bukan hanya TV content asing, tetapi juga media digital online asing yang rata-rata adalah perusahaan besar dan bermodal kuat," tambahnya.

"Bila jumlah izin TV ditambah lebih banyak lagi, sedangkan pasar iklan TV tumbuhnya hanya sedikit dari tahun ke tahun, maka TV di Indonesia akan menjadi kecil dan sulit memiliki modal yang kuat untuk membuat konten berkualitas serta menjaga standar kualitas penyiaran yang mumpuni untuk bersaing dengan media media asing tersebut," jelasnya.

Komisi Tetap Bidang Penyiaran TV dan Radio, juga meminta DPR dan Pemerintah untuk memastikan penyelenggaraan penyiaran digital dilaksanakan dengan teknologi multiplexing.

"Penyiaran Digital TV FTA menggunakan sistem Multi Operator Multipleksing yang terdiri dari LPP dan LPS eksisting (System Hybrid) yang telah memiliki izin multipleksing. Dengan demikian, target Digital Dividen Pemerintah sebesar 112 MHz dapat dipenuhi," imbuhnya.

Mangenai Analog Switch Off (AS0), Komtap Bidang Penyiaran TV dan Radio, merekomendasikan waktu pelaksanaan ASO ditetapkan secara serentak dan diberlakukan lima tahun setelah cetak biru disahkan. Periode simulcast wajib dilakukan pada saat transisi, hal ini penting untuk persiapan bagi Lembaga Penyiaran (LP) maupun masyarakat untuk menghadapi ASO.

Selain itu, Kadin Indonesia meminta Kemkominfo, KPI Pusat dan Daerah, Kepolisian, Kemenkumham dan Kejaksaan, memprioritaskan agenda pemberantasan pembajakan program siaran (piracy) oleh TV Kabel dan pemain Over The Top (Asing).

Pertimbangannya, semakin meningkatnya TV kabel yang diidentifikasikan bersiaran tanpa izin dan menggunakan satelit asing tanpa landing right (Hak Labuh) serta melakukan redistribusi program siaran tanpa hak siar (pencurian konten).

Kemudian, penggunaan konten oleh OTT asing tanpa izin dan membayar royalty. Kondisi ini selain menyebabkan terjadinya iklim persaingan usaha yang tidak sehat sehingga industri Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) tidak tumbuh dan semakin terpuruk. Pemerintah sendiri juga sangat dirugikan karena terjadinya penurunan pendapatan negara baik dari pajak maupun dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti Biaya BHP Penyiaran dan BHP Frekuensi.

"Pelanggaran yang telah dilakukan oleh TV Kabel OTT Asing tersebut, sudah masuk dalam pelanggaran pidana," pungkasnya.

Editor: Udin