Perkosaan dan Tak Bisa Haid, Inilah Cerita Tentara Perempuan Korea Utara
Oleh : Redaksi
Selasa | 21-11-2017 | 19:02 WIB
tentara-korut.jpg
Tentara wanita Korea Utara (Sumber foto: BBC)

BATAMTODAY.COM, Korut - Seorang perempuan mantan tentara Korea Utara mengungkapkan, kehidupan sebagai perempuan di kekuatan militer terbesar keempat dunia itu begitu berat sehingga sebagian besar dari mereka tidak mengalami menstruasi. Dan pemerkosaan, katanya, adalah kehidupan keseharian bagi banyak tentara perempuan.

Selama hampir 10 tahun Lee So Yeon tidur di bagian bawah tempat tidur tingkat, di sebuah ruangan yang dia huni bersama lebih dari dua puluh perempuan lain.

Setiap perempuan diberi laci kecil untuk menyimpan seragam mereka. Di atas semua laci itu setiap orang memasang dua foto berbingkai. Salah satunya adalah pendiri Korea Utara Kim Il-sung. Yang kedua adalah penerusnya yang sudah mati, Kim Jong-il.

Sudah sejak sepuluh tahun lalu ia meninggalkan Korea Utara, tapi Lee So Yeon masih mengingat dengan jelas berbagai kenangan atas bau barak beton di sana.

"Kasur yang kami tiduri itu terbuat dari kulit gabah, jadi semua bau badan merembes ke kasur. Karenanya semua bau keringat dan bau lainnya merembes dan menetap di kasur. Tidak sedap sama sekali."

"Kami waktu itu biasanya sedikit berkeringat."

Salah satu alasannya adalah terbatasnya fasilitas untuk mencuci.

"Sebagai seorang perempuan, salah satu masalah terberat yang kami hadapi adalah tidak bisa mandi dengan memadai," kata Lee So Yeon.

"Tidak ada air panas. Mereka memasang selang ke sungai di gunung yang mengalirkan air langsung."

"Terkadang kami mendapatkan kodok dan ular melalui selang itu."

So Yeon yang kini berusia 41 tahun, adalah putri seorang profesor universitas. Banyak anggota keluarga mereka yang laki-laki menjadi tentara. Dan ketika kelaparan menerjang negara itu pada tahun 1990an, dia masuk tentara karena berpikir bahwa mereka mendapat jaminan makanan setiap hari. Ribuan perempuan muda lain melakukan hal yang sama.

"Kelaparan saat itu merupakan periode yang sangat rentan bagi perempuan di Korea Utara," kata Jieun Baek, penulis North Korea's Hidden Revolution. "Makin banyak perempuan yang memasuki dunia kerja dan banyak yang mengalami perlakuan buruk, terutama pelecehan dan kekerasan seksual."

Apakah cerita pembelot bisa dipercaya?

Juliette Morillot dan Jieun Baek mengatakan bahwa kesaksian Lee So Yeon sesuai dengan pengakuan lain yang mereka dengar sebelumnya. Namun mereka memperingatkan bahwa keterangan para pembelot harus diperlakukan dengan hati-hati.

"Ada kebutuhan yang tinggi tentang informasi dari Korea Utara," kata Baek.

"Ini membuat banyak orang jadi melebih-lebihkan informasi saat berkisah kepada media, terutama jika media memberi mereka imbalan," kata Morillot.

"Banyak pembelot yang tidak ingin berbicara kepada media, sangat kritis terhadap orang-orang apa yang mereka tuding sebagai 'pembelot karir.' Hal ini pantas menjadi catatan."

Di sisi lain, informasi dari sumber resmi Korea Utara, merupakan propaganda murni.

Awalnya, didorong patriotisme dan semangat kolektif gotong royong, Lee So Yeon yang saat itu masih berusia 17 tahun menikmati kehidupan di ketentaraan. Dia terkesan oleh pengering rambut yang disediakan di sana, meski karena listrik sering mati hidup, dia tidak banyak menggunakannya.

Rutinitas harian untuk pria dan perempuan hampir sama di ketentaraan.

Latihan fisik perempuan cenderung sedikit lebih pendek tetapi mereka diminta untuk melakukan pekerjaan sehari-hari seperti bersih-bersih dan memasak bidang yang tentara laki-laki dibebaskan dari kewajiban melakukannya.

"Korea Utara adalah masyarakat tradisional yang didominasi laki-laki, dengan peran gender tradisional," kata Juliette Morillot, penulis 'Korea Utara Dalam 100 pertanyaan,' sebuah buku berbahasa Prancis. "Perempuan masih terlihat sebagai ttukong unjeongsu, yang secara harfiah artinya 'tukang membolak-balik panci,' yang berarti mereka harus 'tinggal di dapur di tempat mereka seharusnya berada'."

Latihan keras dan minimnya jatah makanan berdampak besar pada tubuh Lee So Yeon dan rekan-rekan seangkatannya.

"Setelah enam bulan sampai satu tahun berdinas, kami tidak akan menstruasi lagi karena kekurangan gizi dan beratnya lingkungan," katanya.

"Tapi para tentara perempuan banyak yang senang tidak memiliki masa menstruasi, karena situasinya akan lebih buruk lagi jika mereka mengalami haid dalam keadaan itu."

So Yeon mengatakan bahwa tentara tidak menerapkan ketentuan apa pun terkait menstruasi selama ia berdinas militer dan bahwa dia dan rekan perempuan lainnya sering tidak punya pilihan selain menggunakan kembali pembalut yang sudah digunakan.

"Sampai sekarang perempuan di Korea Utara masih menggunakan pembalut katun putih tradisional," kata Juliette Morillot. "Pembalut-pembalut itu harus dicuci setiap malam agar tak terlihat oleh kaum pria."

Dan Morillot yang baru saja kembali dari kunjungan lapangan dan berbicara dengan sejumlah tentara perempuan, mengukuhkan bahwa mereka sering tidak mendapat haid.

"Seorang gadis yang saya ajak bicara, berusia 20 tahun, mengatakan bahwa latihan-latihannya begitu keras sehingga dia tak mengalami haid selama dua tahun," katanya.

Lee So Yeon masuk tentara secara sukarela. Namun pada tahun 2015 Korea Utara mengumumkan bahwa semua perempuan dikenai wajib militer selama tujuh tahun sejak usia 18 tahun.

Pada saat yang sama pemerintah Korea Utara mengambil kebijakan yang tidak biasa, dengan mengumumkan bahwa mereka akan membagikan pembalut perempuan kualitas tingi dengan merek Daedong bagi sebagian besar tentara perempuan.

"Ini mungkin cara untuk membenahi keadaan," kata Jieun Baek. "Pernyataan itu mungkin untuk memperbaiki citra selama ini terkait buruknya kondisi bagi perempuan. Mungkin ini adalah cara untuk mendorong semangat dan membuat kaum perempuan berpikir, 'Wow, kita akan diurus.'

Produk pembalut ini juga baru-baru ini dibagikan ke para perempuan di unit penerbangan, menyusul seruan Kim Jong-un pada tahun 2016, bahwa produk kecantikan Korea Utara harus bisa bersaing dengan merek global seperti Lancome, Chanel dan Christian Dior.

Meskipun demikian, tentara perempuan yang ditempatkan di pedesaan tidak selalu memiliki akses ke jamban pribadi. Banyak yang mengatakan kepada Morillot bahwa mereka seringkali harus buang air di depan laki-laki, membuat mereka merasa sangat rentan.

Wajib militer di Korea Utara

Pelecehan seksual, kata Baek dan Morillot, berlangsung meluas.

Morillot mengatakan bahwa ketika dia membicarakan masalah pemerkosaan di kalangan tentara dengan tentara perempuan, "kebanyakan mengatakan hal itu terjadi pada orang lain." Tidak ada yang mengaku pernah mengalaminya secara pribadi.

Lee So Yeon juga mengatakan bahwa dia tidak pernah diperkosa selama berada di kemiliteran antara tahun 1992 dan 2001, namun banyak rekannya mengalaminya.

"Komandan akan tinggal di kamarnya setelah jam dinas, dan memperkosa tentara perempuan bawahannya. Ini terjadi berulang-ulang tanpa akhir."

Militer Korea Utara mengatakan bahwa mereka menangani pelecehan seksual dengan sangat serius, dengan hukuman penjara sampai tujuh tahun bagi yang dinyatakan bersalah.

"Tapi hampir tidak ada orang yang mau bersaksi. Jadi, para pemerkosa sering lolos dari hukum," kata Juliette Morillot.

Juliette Morillot menambahkan bahwa sikap diam tentang pelecehan seksual di tentara berakar pada 'sikap patriarkis masyarakat Korea Utara' ini pula yang membuat perempuan di ketentaraan dibebani tugas-tugas lain.

Perempuan dari latar belakang kaum miskin direkrut ke brigade konstruksi, dan ditempatkan di barak kecil dadakan atau gubuk, yang sangat tidak aman, katanya.

"Kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap hal normal, dan tidak dilaporkan. Begitu juga di ketentaraan. Tapi saya benar-benar harus menekankan bahwa budaya yang sama (pelecehan) juga terjadi di tentara Korea Selatan."

Lee So Yeon, yang berdinas dengan pangkat sersan di unit sinyal yang dekat dengan perbatasan Korea Selatan, akhirnya meninggalkan dinas tentara pada usia 28. Dia merasa lega mendapat kesempatan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarganya, tapi juga merasa dia tidak siap menjalani kehidupan di luar militer dan mengalami kesulitan keuangan.

Pada tahun 2008 dia memutuskan untuk melarikan diri ke Korea Selatan.

Pada usaha pertama dia tertangkap di perbatasan dengan Cina dan dikirim ke sebuah kamp penjara selama satu tahun.

Tak lama setelah keluar penjara, ia menempuh usaha kedua untuk kabur. Dia berenang ke sungai Tumen dan menyeberang ke Cina. Di sana, di perbatasan, dia sudah ditunggu seorang perantara, yang mengaturnya masuk Korea Selatan melalui Cina.

Sumber: BBC
Editor: Udin