Agar Anambas-Natuna Tak Ganti Bendera
Oleh : Redaksi
Jum'at | 05-02-2016 | 08:00 WIB
merah_putih_by_kompasiana.jpg
Bendera merah putih robek. (Foto: Kompasiana)

TIAP tahun, pasokan uang pembangunan dari Jakarta untuk dua wilayah perbatasan di Provinsi Kepri, Anambas dan Natuna, terus susut. Bukannya ditambah, Dana Bagi Hasil (DBH) dari kedua "etalase" republik ini justru terus dipangkas. Sampai kapan? Sampai Anambas dan Natuna ganti bendera? Berikut catatan wartawan BATAMTODAY.COM.


Masih kuat memori rakyat Indonesia, apalagi dibantu dengan "mbah sakti" Google, bahwa Jakarta sebagai pemerintah pusat akan lebih memerhatikan kesejahteraan masyarakat di perbatasan. Bahkan, penyebutan buat mereka pun tidak lagi, pulau terluar. Tapi, beranda terdepan. Apa artinya itu, jika tidak berdampak apa-apa pada peningkatan kesejahteraan mereka?

Bahkan, Presiden Jokowi juga telah menegaskan tekadnya untuk berhenti memunggungi laut. Saatnya kini bangsa Indonesia memberdayakan anugerah luar biasa dari Yang Maha Kuasa, bernama laut dan segala ikutannya. Termasuk, gugusan pulau yang tersebar di wilayah terdepan republik ini.  

Sayangnya, alih-alih ditingkatkan, yang terjadi justru sebaliknya. Salah satu sumber utama penghasilan mereka, DBH, dipangkas habis-habisan. Bayangkan, DBH Kabupaten Anambas yang tahun 2013 lalu sebesar Rp300 miliar. Kini, di tahun 2016 ini yang tersisa Rp7,5 miliar. Ya, Jakarta membagi mereka Rp7,5 miliar saja! 

Besaran angka DBH tersebut telah dikonfirmasi oleh Teti Arnita, Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Kepulauan Anambas, Teti Arnita. 

DBH Migas yang masuk dalam komponen dana perimbangan ini cenderung mengalami penurunan sejak beberapa tahun terakhir. Untuk itu, Kepala Bidang di Dispenda berikut Penjabat Bupati Kabupaten Kepulauan Anambas telah berangkat ke Jakarta untuk menyoal pemangkasan habis-habisan DBH Anambas itu.

Sementara itu, kabupaten tetangganya, Natuna, juga mengalami nasib serupa. Tahun ini, Natuna hanya kebagian DBH sebesar Rp11 miliar. Padahal, tahun 2015 lalu mereka mendapat alokasi Rp141 miliar. Rinciannya, Rp 3,895 miliar untuk DBH minyak bumi dan Rp 7,1 miliar untuk gas bumi. Angka-angka tersebut telah dikonfirmasi oleh Kepala Bidang Anggaran Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemkab Natuna, Suryanto, Minggu (24/1/2016) lalu.

Untungnya, Jakarta masih menyisakan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar  Rp 345,2 miliar. Jumlah ini naik dari alokasi 2015 lalu sebesar Rp145,4 miliar. Serta kenaikan penerimana Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 149,7 miliar, sebelumnya hanya Rp 118,9 miliar.

Akibatnya, pembangunan di Natuna tersendat, karena defisit anggaran. Bahkan di tahun 2015, Pemkab Natuna sudah membukukan utang yang jumlahnya tak sedikit. Padahal banyak kegiatan pembangunan yang tak terealisasi sesuai rencana. Jika terus begini, siapa yang berani menjamin, pemerintahan di Kabupaten Natuna ini tidak bakal bangkrut? 

Sebaliknya, kepercayaan pihak swasta yang selama ini menopang kegiatan pemerintahan di wilayah terdepan republik itu, makin lenyap. Mereka enggan memberi hutang kepada Pemerintah Natuna. Dengan posisi semakin terpojok dan beban hutan semakin berat, apa pilihan yang tersisa bagi warga di perbatasan itu? 

Tetap setia kepada Merah Putih, tapi hidup dalam tekanan hutang dan alokasi DHB terus dipangkas. Atau mulai berpikir untuk ganti bendera demi hidup sejahtera? Entahlah!

Editor: Dardani